Baterai kendaraan listrik (EV) memiliki masa hidup sekitar 10 tahun. Setelah masa pakainya berakhir, baterai ini memerlukan penanganan khusus agar limbahnya tidak merusak lingkungan. Pengelolaan limbah baterai ini menghadirkan peluang dan tantangan tersendiri.
Salah satu metode penanganan limbah baterai EV adalah dengan recycle atau daur ulang. Daur ulang baterai memiliki dua metode, yaitu hidrometalurgi dan pirometalurgi. Proses daur ulang memungkinkan pemisahan material berharga seperti kobalt, nikel, mangan, tembaga, dan besi, yang dapat digunakan kembali dalam pembuatan baterai baru atau industri lainnya.
Selain daur ulang, baterai bekas dapat digunakan kembali atau repurpose sebagai penyimpanan energi stasioner, seperti pada turbin angin dan tenaga surya atau sebagai sistem darurat ketika terjadi pemadaman listrik.
Beberapa negara telah menerapkan kebijakan terkait daur ulang baterai EV. China, misalnya, telah memiliki sistem pelacakan dan daur ulang baterai sejak 2014 dan kini menjadi pemimpin dalam industri daur ulang baterai.
Sementara itu, Uni Eropa menargetkan 80 persen pemulihan litium dari baterai bekas pada 2031. Pada tahun yang sama, Uni Eropa juga mewajibkan penggunaan bahan daur ulang dalam pembuatan baterai lithium.
Namun, proses daur ulang baterai tidaklah mudah. Prosesnya yang rumit, biaya tinggi, serta infrastruktur dan teknologi yang belum memadai menjadi tantangan utama. Di samping itu, belum jelasnya regulasi ikut menghambat perkembangan industri ini.
Mengatasi tantangan-tantangan tersebut penting untuk memastikan bahwa daur ulang baterai EV dapat berjalan efektif dan berkelanjutan di masa depan.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.