Katadata Green
Banner

AS Mundur dari Kesepakatan Iklim Global, China Bisa Mengambil Alih

ANTARA FOTO/Andri Saputra/YU
Avatar
Oleh Rezza 22 Januari 2025, 14.37

China dinilai bisa mengambil peran dalam percaturan kebijakan iklim global seiring dengan langkah Donald Trump yang menarik diri dari Kesepakatan Paris.

Keputusan Donald Trump menarik diri dari Paris Agreement sebetulnya bukan langkah mengejutkan. Donald Trump tidak pernah malu-malu menunjukkan karakternya sebagai penentang nomor satu isu perubahan iklim. Ia juga pernah menarik diri dari Kesepakatan Paris saat pertama kali menjabat sebagai Presiden AS sebelum akhirnya Joe Biden membawa kembali AS di kesepakatan tersebut saat ia berkuasa. 

Namun, bagaimana sebetulnya dampak mundurnya AS kali ini? Managing Director Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengatakan peran AS saat ini lebih banyak dari sisi diplomatis sebagai salah satu negara kaya yang menghasilkan emisi paling besar. Namun, dari sisi pendanaan iklim ia memprediksi tidak akan terlalu banyak berpengaruh.

“Selama ini AS memang inkonsisten dalam perannya sebagai pemimpin dunia di sektor iklim, sehingga menjadi mitra yang sulit diandalkan di kawasan regional,” katanya kepada Katadata.

Ia memperkirakan langkah Trump ini tidak akan diikuti oleh negara lain. Ia menyebut Eropa saat ini masih di fase menyeimbangkan antara target iklim jangka pendek dengan komitmen pendanaan. Namun, ia menyebut jika politik di Jerman semakin dikuasai oleh sayap kanan, tidak menutup kemungkinan tren ini juga akan menular ke Eropa. 

Di sisi lain, visi Trump yang ingin mendorong produksi minyak dan gas akan menjadi tantangan tersendiri dalam upaya memangkas emisi. Putra meyakini AS akan aktif mencari pasar baru untuk memasarkan gas alamnya. 

Tantangan sebenarnya justru akan dihadapi oleh sektor swasta di AS. Seperti diketahui, sejumlah lembaga keuangan berpengaruh asal Amerika seperti Goldman Sachs, Citigroup, dan JP Morgan, hingga BlackRock telah menarik diri dari aliansi kelompok iklim. “Langkah ini dilakukan untuk meminimalisir legal liability, termasuk gugatan oleh banyak negara bagian,” katanya, kepada Katadata.

Ia juga meyakini apapun kebijakan luar negeri AS, perusahaan privat seperti Amazon, Google, dan Microsoft diprediksi akan terus melanjutkan penetrasinya ke pasar Asia Tenggara. Microsoft misalnya sudah mengumumkan akan menggelontorkan US$1 miliar infrastruktur komputasi awan dan Amazon yang berkomitmen US$ 9 miliar di Singapura, yang semuanya hadir dengan target energi bersih yang ambisius. 

Putra menilai keluarnya AS dari kesepakatan iklim global bisa menjadi kesempatan bagi China untuk mengambil kekosongan peran tersebut. “China saat ini adalah investor terbesar di Asia Tenggara untuk proyek-proyek energi terbarukan,” katanya.

Industri manufaktur panel surya China berhasil memangkas harga hingga 90% dalam beberapa tahun terakhir. China juga menguasai sekitar 70% pangsa pasar mobil listrik di Asia Tenggara. Selain itu, China juga menguasai 80% rantai pasok mineral kritis global, termasuk nikel yang banyak berasal dari Indonesia.

Kendati China berpotensi menggantikan peran AS dalam hal pendanaan dan investasi di sektor iklim, akan sulit bagi China untuk menggantikan peran AS dalam perundingan global. “Selama ini China selalu menghindari label sebagai negara kaya karena akan dituntut untuk memberikan dana iklim,” kata Putra. 

 

 

 

 

Editor : Rezza
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.