Penelitian terbaru menyebut pemahaman Bank Pembangunan Daerah (BPD) terhadap regulasi terkait keuangan berkelanjutan dinilai masih sangat terbatas.
Koordinator Center for Climate Change and Sustainable Finance Universitas Indonesia Sonny Mumbunan mengatakan baru 9,7% pegawai BPD yang memahami Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), Emiten, dan Perusahaan Publik.
Studi yang dilakukan terhadap 23 BPD pada periode Juni-September 2024 ini menunjukkan kesadaran terkait perubahan iklim di kalangan pegawai BPD sebenarnya cukup tinggi. Sekitar 80% pegawai BPD sadar bahwa perubahan iklim sedang terjadi. Selain itu, lebih dari setengah responden juga mengkhawatirkan minimnya aksi dekarbonisasi. Namun, ini tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mendalam terkait tren terkini. Sekitar 50% pegawai BPD bahkan baru pertama kali mendengar istilah pajak karbon dan bursa karbon.
Sonny menyebut perubahan iklim sangat terkait dengan beberapa indikator keuangan perbankan seperti Loan to Deposit Ratio (LDR), Outstanding Loan (OSL), dan Non-Performing Loan (NPL). Di beberapa sektor seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, risiko NPL menjadi sangat tinggi akibat perubahan iklim.
“Capacity building sangat penting untuk memperkuat kapasitas BPD terhadap risiko iklim dan implikasi finansial dan perbankan,” katanya.
Sonny menyarankan untuk memperkuat peran BPD dalam integrasi pembangunan daerah yang rendah karbon dan tahan iklim. Selain itu, harus ada pengukuran respons dan risiko iklim terhadap perbankan yang menjadi bagian dari Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjalin kemitraan inovatif dengan Program Kemitraan Indonesia Australia untuk Perekonomian (Prospera) untuk memperkuat perbankan nasional dalam menghadapi krisis iklim. Kerja sama OJK dengan Prospera ini akan memberikan dukungan kepada perbankan dalam pengembangan kebijakan iklim di Indonesia.
"Kerja sama ini berpusat pada penyediaan dukungan yang diperlukan untuk pengembangan kebijakan iklim yang merupakan tonggak penting dalam upaya kita bersama untuk mengatasi salah satu tantangan paling mendesak saat ini, yaitu manajemen risiko iklim untuk industri perbankan di Indonesia," ujar Chief Executive of Banking Supervision OJK Dian Ediana Rae dalam Kick Off Cooperation OJK-Prospera on Climate Risk Management Policies for Indonesian Banks, Jumat (27/6).
Dian mengatakan, perubahan iklim bukan semata-mata masalah lingkungan hidup. Namun, perubahan iklim merupakan potensi risiko sistemik yang berdampak pada sistem keuangan, perekonomian, dan masyarakat luas. Menurutnya, meningkatnya frekuensi dan tingkat kerusakan kejadian yang disebabkan krisis iklim menyebabkan ancaman besar bagi stabilitas keuangan. Maka dari itu, penting untuk melakukan penilaian kerentanan terhadap perubahan iklim di sektor perbankan, terutama mengingat letak geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.