Studi terbaru menunjukkan perubahan iklim berpotensi mengerek harga bahan pangan di Indonesia hingga 59% akibat cuaca ekstrem dan ongkos transisi energi.
Laporan Oxford Economics dan Food Industry Asia bertajuk “Perubahan Iklim dan Harga Pangan di Asia Tenggara” menyebutkan harga pangan diprediksi melonjak hingga 30%-59% di kawasan Asia Tenggara. Indonesia yang bergantung pada bahan bakar fosil sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan diperkirakan mengalami dampak paling signifikan.
Laporan itu menyebut kenaikan suhu rata-rata di Asia Tenggara sudah mencapai tiga derajat celcius dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri. Kondisi ini menyebabkan cuaca ekstrem yang berdampak buruk pada hasil pertanian. Kenaikan harga pangan ini akan menyulitkan masyarakat berpenghasilan rendah yang biasanya membelanjakan 10% pendapatan mereka untuk bahan pangan.
Berdasarkan model Oxford Economics , setiap peningkatan suhu rata-rata sebesar 1% akan mendorong kenaikan harga produksi pangan sebesar 1-2% di negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Di antara negara-negara tersebut, Filipina tergolong paling rentan terhadap perubahan suhu, akibat seringnya mengalami cuaca ekstrem dan kapasitas produksinya yang belum optimal dalam menghadapi perubahan iklim. Studi ini juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim telah berkontribusi pada kenaikan harga pangan sebesar 6% di Filipina dalam sepuluh tahun terakhir.
Penasihat Senior Asean Food and Beverage Alliance (AFBA), S Yogendran mengatakan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah dan para pemimpin industri untuk bersinergi dan mengatasi tantangan dalam menavigasi transisi energi di Asia Tenggara, sekaligus mengurangi dampak kenaikan biaya pangan.
‘’Keluarga-keluarga di seluruh Asia Tenggara sudah merasakan dampak dari kenaikan harga bahan pangan. Tanpa adanya koordinasi antara pemerintah dan industri, upaya mencapai target emisi nol bersih berpotensi untuk membuat nutrisi dasar menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat," katanya.