Katadata Green
Banner

Mobil Listrik Menyalip Mobil Berbahan Bakar Minyak di Ethiopia

123RF.com/Karsten Neglia
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 28 Agustus 2024, 19.03

Antrean panjang telah terbentuk di stasiun pengisian bahan bakar di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, di tengah kelangkaan bahan bakar dan lonjakan harga dalam beberapa bulan terakhir.

Namun, pengemudi kendaraan listrik Mikial Belayneh menghindari antrean tersebut. "Saya tidak lagi mengantre bensin di jalan," kata Mikial, warga Addis.

Pengisian penuh Toyota bZ4X impor miliknya, kendaraan listrik populer di negara itu, lebih dari cukup untuk dua hari.

Mikial, yang mengisi daya mobilnya di rumah, merupakan bagian dari transisi cepat menuju kendaraan listrik di Addis Ababa, kota yang berkembang pesat di Tanduk Afrika dan menjadi pusat tujuan Ethiopia untuk mengeluarkan jutaan orang dari kemiskinan.

Selain mobil dan truk yang mengeluarkan polusi yang bergemuruh di sepanjang jalan, kendaraan yang lebih bersih dan lebih senyap ikut serta dalam lalu lintas.

Bus listrik, minibus kecil berkapasitas 15 penumpang, mobil, dan sepeda motor bermunculan di jalan-jalan ibu kota.

Hingga kini, terdapat sekitar 100 ribu kendaraan listrik di Ethiopia.

Pemerintah Ethiopia memperkirakan jumlah tersebut akan meningkat empat kali lipat pada 2032.

Hal ini terutama disebabkan oleh langkah luar biasa yang diambil pemerintah nasional pada awal tahun ini dengan melarang impor semua kendaraan penumpang bertenaga bensin dan menjadi negara pertama di dunia yang melakukannya.

Hal ini juga secara efektif memangkas pajak bea cukai pada mobil impor.

Menurut Kementerian Keuangan Ethiopia, pajak pada kendaraan berbahan bakar bensin naik hingga 200% sebelum dilarang, sedangkan pajak impor untuk kendaraan listrik yang dirakit sepenuhnya hanya 15%.

Ini adalah bagian dari upaya yang dipimpin pemerintah untuk menghadirkan lebih banyak kendaraan listrik di jalan raya.

Tarif yang lebih rendah juga memacu lebih banyak produksi kendaraan listrik lokal.

Ratusan kendaraan dirakit oleh Belayneh Kindie Group yang berbasis di Ethiopia menggunakan suku cadang yang diimpor dari Tiongkok.

Manajer Belayneh Kindie Group Besufekad Shewaye mengatakan tarif impor hampir nol persen untuk suku cadang kendaraan listrik yang dirakit di Ethiopia.

“Saat ini, sebagian besar pemilik kendaraan lebih memilih kendaraan listrik, terutama kendaraan ringan. Permintaan terus meningkat dari hari ke hari," ujarnya.

Peralihan cepat dari bensin

Ethiopia sangat condong ke kendaraan listrik karena impor bahan bakar mahal dan 96% listrik negara itu berasal dari tenaga air bersih, yang merupakan kemenangan ganda bagi keuangan negara dan lingkungan.

“Mereka benar-benar negara yang menggunakan energi bersih. Mengapa Anda mengimpor minyak sementara Anda memiliki listrik lokal yang sebenarnya dapat Anda gunakan untuk kendaraan Anda?,” kata Jane Akumu, Pejabat Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkantor di Kenya.

Penasihat Transportasi untuk Kementerian Transportasi dan Logistik Ethiopia Assefa Hadis Hagos, pemerintah menyadari bahwa mereka memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah di negara itu ketika mulai beralih ke kendaraan listrik.

Namun, larangan total impor mobil bertenaga bensin, yang disahkan pada bulan Januari, mengejutkan banyak orang di wilayah tersebut.

"Kami tidak tahu bahwa pemerintah akan sepenuhnya mendukung larangan total," kata Jane Akumu.

Ethiopia, yang selama bertahun-tahun diperintah oleh pemerintahan otoriter satu partai, telah menunjukkan bahwa negara itu dapat dengan cepat menerapkan kebijakan lingkungan yang mungkin akan memakan waktu lebih lama di negara-negara yang lebih demokratis.

Pada awal tahun 2000-an, Ethiopia bergerak cepat untuk melarang bensin bertimbal yang tidak efisien dan berbahaya.

“Negara-negara lain memerlukan proses konsultasi yang lebih banyak, partisipasi yang lebih banyak,” ujar Jane Akumu, yang juga mempelopori upaya pemberantasan bensin bertimbal di Afrika.

Jumlah mobil di jalan raya di Ethiopia masih cukup rendah, sekitar 1,2 juta total atau kira-kira satu mobil untuk setiap 100 orang.

Di Amerika Serikat (AS), lebih dari 91% penduduk AS memiliki setidaknya satu mobil.

Di negara berpenduduk terbanyak di Afrika, Nigeria, totalnya 11,8 juta mobil atau antara 5 dan 6 mobil per 100 orang.

Pemerintah Ethiopia telah mempertahankan tingkat kepemilikan mobil tetap rendah dengan pajak yang sangat tinggi pada kendaraan bertenaga bensin yang membebani konsumen hingga tiga kali lipat nilai impor mobil.

Ini merupakan bagian dari upaya untuk mendorong lebih banyak orang menggunakan transportasi umum.

Meskipun pemerintah telah mengurangi atau menghapuskan sebagian pajak untuk kendaraan listrik impor, membeli mobil listrik masih mahal.

"Dari segi siapa yang membeli kendaraan listrik, tentu saja mereka yang berada dalam kelompok berpendapatan tinggi," kata Iman Abubaker, yang tinggal di Ethiopia dan bekerja di bidang transportasi berkelanjutan untuk World Resources Institute, sebuah organisasi nirlaba global.

Oleh karena itu, kelompok Iman Abubaker dan kelompok lainnya berupaya mendorong pemerintah Ethiopia dan pihak lain di seluruh benua untuk berinvestasi lebih banyak dalam bus listrik dan transportasi umum, sehingga kendaraan yang efisien ini dapat digunakan oleh orang-orang dari semua tingkat pendapatan.

Meskipun mahal, armada kendaraan Ethiopia telah mengalami peningkatan bertahap namun berkelanjutan dalam jumlah kendaraan listrik yang menggantikan mobil bermesin pembakaran.

Dalam kurun waktu dua tahun dari target 10 tahun negara itu untuk mendatangkan lebih dari 100.000 kendaraan listrik, yang dimulai pada 2022. Menurut CleanTechnica, kendaraan listrik sudah mencakup hampir 10% dari kendaraannya.

Menurut Penasihat Transportasi Hagos, pemerintah Ethiopia merasa senang dengan kecepatan transisi tersebut. Ia mengatakan pemerintah memiliki komitmen untuk mengurangi polusi iklim dan lingkungan dari mobil berbahan bakar bensin.

Bus listrik dan armada sepeda motor kuning boda bodas

Saat ini, Ethiopia berdiri sendiri dalam pelarangan impor mobil berbahan bakar bensin.

"Larangan itu jelas hanya sekali," kata Moses Nderitu, Direktur Pelaksana Perusahaan Bus Listrik BasiGo di Kenya.

Namun, pertumbuhan kendaraan listrik di seluruh benua terjadi bahkan tanpa adanya larangan tersebut.

Di Nairobi, Kenya, sepeda motor listrik mengalami pertumbuhan yang mengejutkan.

Tahun lalu, Uber meluncurkan armada sepeda motor kuning yang menarik perhatian, yang dikenal secara lokal sebagai boda bodas.

Para pakar industri mengatakan setelah pemerintah Kenya memberikan insentif pajak, terjadi lonjakan 500% jumlah sepeda motor listrik di jalan raya dalam satu tahun.

Jumlahnya meningkat dari ratusan menjadi sekitar 3 ribu sepeda motor di jalanan Nairobi.

Hezbon Mose, Direktur Negara Kenya untuk perusahaan sepeda motor listrik Ampersand, yang memiliki armada sepeda motor di Kenya dan Rwanda, mengatakan jumlah tersebut masih merupakan sebagian kecil dari total 200 ribu sepeda motor di jalanan Nairobi.

Namun, jumlah tersebut telah membantu mengurangi polusi suara di beberapa bagian kota.

Di ibu kota Ethiopia, langkah-langkah yang lebih ketat, yang mencakup tidak dikeluarkannya lisensi untuk sepeda motor berbahan bakar minyak, telah dilaksanakan oleh otoritas kota yang menyetujui jadwal pada bulan April untuk mengubah sepeda motor berbahan bakar bensin menjadi model bertenaga listrik.

Sebelumnya, pada bulan Maret, kota tersebut memperkenalkan armada bus listrik pertamanya untuk angkutan umum.

Bus umum listrik bergaya Amerika, lebih membosankan dibandingkan bus matatu bertenaga bensin yang penuh warna dan mengeluarkan musik di Kenya, juga mulai lebih banyak dikendarai di jalan-jalan Nairobi.

Hezbon Mose dan Moses Nderitu melihat kendaraan listrik sedang meningkat di seluruh benua karena beberapa negara berupaya untuk menghentikan penggunaan minyak dan beralih ke listrik yang lebih murah.

Banyak negara membutuhkan lebih banyak infrastruktur dan subsidi pemerintah untuk menarik lebih banyak orang menggunakan kendaraan listrik.

"Saya melihat kendaraan listrik sama seperti kita melihat pasar telepon seluler 30 tahun lalu. Ketika seluruh dunia mulai mengadopsi telepon seluler, tidak ada infrastruktur (di Afrika). Hanya ada sedikit orang yang terhubung dengan telepon. Sekarang, lihat saja Nairobi, hampir tidak ada orang yang tidak memiliki telepon," kata Moses Nderitu, dikutip dari CNN, Senin (19/8).

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.