Dengan hanya lima bulan tersisa sebelum KTT Iklim PBB tahun ini, negara-negara tidak dapat menyepakati besaran dana global untuk membantu negara berkembang memerangi perubahan iklim, apalagi bagaimana cara membaginya.
Keputusan ini akan mendominasi pembicaraan iklim COP29 di Azerbaijan pada bulan November, di mana hampir 200 negara harus menyepakati target pendanaan tahunan yang baru untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi emisi mereka dan melindungi masyarakat mereka di dunia yang semakin panas.
Target baru ini akan menggantikan target tahunan sebesar US$100 miliar (Rp 1.648 triliun) yang telah dijanjikan oleh negara-negara kaya untuk pendanaan iklim mulai tahun 2020. Target tersebut terlambat dicapai dua tahun.
Namun, pembicaraan awal minggu ini di Bonn, Jerman, tidak menghasilkan terobosan besar. Sebaliknya, pembicaraan tersebut kembali memperlihatkan perpecahan di antara negara-negara dengan ekonomi terbesar di dunia mengenai siapa yang harus membayar paling banyak untuk memerangi perubahan iklim dan berapa banyak.
Berbicara di akhir pembicaraan pada hari Kamis (13/6), Kepala Iklim PBB Simon Stiell menyesalkan lambatnya kemajuan dan mengatakan para menteri dari berbagai negara perlu turun tangan untuk membantu melancarkan perundingan menjelang COP29.
"Kita telah meninggalkan diri kita sendiri dengan gunung yang sangat curam untuk didaki," kata Simon, dikutip dari Reuters pada Jumat (14/6).
Menurut perwakilan dari negara-negara yang rentan terhadap iklim, sangat sulit untuk melihat negara-negara kaya terlambat membayar pendanaan iklim di masa lalu, sementara mereka dengan cepat menyetujui dana baru untuk tanggap militer terhadap perang atau menghabiskan miliaran dolar untuk mensubsidi sumber energi yang menghasilkan emisi CO2.
"Sepertinya uang selalu ada ketika ada prioritas nasional yang lebih nyata bagi negara tersebut. Sangat sulit untuk melihat hal itu," ujar Negosiator Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS), Michai Robertson.
Target pembiayaan baru adalah alat utama yang dapat dihasilkan oleh pembicaraan iklim global untuk mendanai proyek-proyek yang dapat mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan global seperti energi terbarukan atau transportasi rendah karbon.
Dengan semua negara akan memperbarui target iklim nasional mereka tahun depan, para negosiator khawatir kegagalan dapat menyebabkan upaya yang lebih lemah.
"Bagaimana bisa melangkah maju jika tidak ada pendanaan?" kata Negosiator Iklim Afrika Selatan, Pemy Gasela.
Negaranya Pemy adalah salah satu dari banyak negara berkembang yang telah memperingatkan bahwa mereka tidak dapat mengurangi emisi lebih cepat tanpa dukungan keuangan yang lebih besar.
Dalam kasus Afrika Selatan ini adalah menukar ketergantungan yang besar pada batu bara penghasil emisi CO2 dengan energi bersih.
Namun, negara-negara kaya berhati-hati dalam menetapkan target yang terlalu tinggi dan berisiko tidak tercapai. Target US$100 miliar yang tidak tercapai menjadi simbol politik dalam pembicaraan iklim PBB baru-baru ini.
Hal tersebut memicu ketidakpercayaan di antara negara-negara karena negara-negara berkembang berargumen bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi dunia telah meninggalkan mereka.
Para diplomat di Bonn pun masih bergelut dengan masalah berapa banyak uang yang harus disediakan.
Meskipun berbagai negara setuju bahwa US$100 miliar terlalu rendah, kecil kemungkinan mereka akan setuju untuk mengumpulkan US$2,4 triliun (Rp 39.567 triliun) per tahun yang menurut kepala iklim PBB pada bulan Februari lalu diperlukan untuk menjaga agar target iklim dunia tetap terjangkau.
Baik Uni Eropa maupun AS belum mengusulkan angka untuk target tersebut, meskipun keduanya mengakui minggu ini bahwa angka tersebut harus melebihi US$100 miliar. Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara saat ini merupakan penyedia pendanaan iklim terbesar.
Beberapa diplomat mengatakan masalah besar dalam negosiasi adalah pemilihan presiden AS yang akan datang, di mana Donald Trump sedang berusaha untuk kembali menjabat. Pemerintahan Trump sebelumnya menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris.
Para negosiator mengatakan bahwa mereka khawatir pemerintahan Trump di masa depan dapat menghentikan pembayaran pendanaan iklim AS, dan menyerahkannya kepada negara-negara kaya lainnya untuk memenuhi janji tahunan tersebut.
Namun, beberapa negara telah memberikan saran. India, dan sekelompok negara Arab termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir, mengatakan target pembiayaan keseluruhan harus melebihi US$1 triliun (Rp 16.486 triliun) per tahun, untuk merefleksikan kebutuhan negara-negara miskin yang terus meningkat seiring dengan memburuknya perubahan iklim.
Negara-negara Arab mengusulkan agar negara-negara kaya menyediakan dana publik sebesar US$441 miliar (Rp 7.270 triliun) per tahun dalam bentuk hibah, untuk meningkatkan total US$1,1 triliun (Rp 18.135 triliun) per tahun dari sumber-sumber yang lebih luas.
Negara-negara kepulauan kecil yang rentan terhadap perubahan iklim juga telah mendorong peraturan yang lebih ketat tentang apa yang diperhitungkan dalam target, menyarankan untuk mencegah pinjaman dengan suku bunga di atas 1%.
Ini untuk menghindari penambahan utang negara-negara miskin yang sudah tinggi. Menurut OECD, sebagian besar dana iklim publik yang disediakan oleh negara-negara maju adalah pinjaman.
Berbagai negara juga berselisih mengenai siapa yang harus berkontribusi. Ada sekitar dua lusin negara industri maju yang saat ini diwajibkan untuk berkontribusi pada pendanaan iklim PBB.
Daftar tersebut diputuskan dalam pembicaraan iklim PBB pada tahun 1992, ketika ekonomi Tiongkok masih lebih kecil dari Italia.
Uni Eropa ingin agar Tiongkok, yang saat ini merupakan penghasil emisi CO2 terbesar di dunia dan ekonomi terbesar kedua, dan negara-negara Timur Tengah yang memiliki kekayaan per kapita yang tinggi untuk berkontribusi pada target baru ini.
AS menginginkan penambahan lebih banyak negara dalam basis donor. Namun, negara-negara Arab dan Tiongkok dengan tegas menentang ide ini.
Beijing menekankan status Tiongkok negara berkembang berdasarkan konvensi iklim PBB.
"Kami, negara-negara berkembang, tidak berniat untuk membuat angka Anda terlihat bagus atau menjadi bagian dari tanggung jawab Anda, karena kami melakukan semua yang dapat kami lakukan untuk menyelamatkan dunia," ujar juru runding China kepada para diplomat lainnya dalam perundingan mengenai target pendanaan di Bonn, hari Selasa (11/6).
Kedua kubu negara belum berkompromi mengenai siapa yang harus membayar. "Segalanya berjalan lambat," kata Joe Thwaites, yang melacak negosiasi pendanaan iklim untuk organisasi nirlaba Natural Resources Defense Council.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.