Katadata Green
Banner

Negara Kaya Penuhi Janji Pendanaan Iklim Kepada Negara Miskin

Freepik
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 30 Mei 2024, 17.09

Negara-negara maju memenuhi janji mereka menyediakan US$ 100 miliar (Rp 1.624 triliun) untuk membantu negara-negara miskin menghadapi perubahan iklim pada tahun 2022. 

Menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), janji tersebut terpenuhi dua tahun lebih lambat.

Pada 2009, negara-negara maju berjanji mulai 2020 akan mentransfer US$ 100 miliar per tahun ke negara-negara miskin yang terbebani biaya bencana akibat perubahan iklim yang semakin memburuk.

Mereka menyediakan US$ 115,9 miliar (Rp 1.882 triliun) dalam pendanaan iklim di 2022 dan memenuhi janji untuk pertama kali, menurut laporan OECD. 

Total dana tersebut juga mencakup pendanaan swasta yang dimobilisasi oleh dana publik.

Dana sebesar US$ 100 miliar jauh lebih sedikit dari triliunan dolar yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk berinvestasi cepat dalam energi bersih agar dapat mencapai target iklim dan melindungi rakyat mereka dari cuaca ekstrem.

Namun, kekurangan US$ 100 miliar telah menjadi simbol politik, menimbulkan ketidakpercayaan antar negara-negara dalam perundingan iklim PBB baru-baru ini. 

Beberapa negara berkembang berargumen bahwa mereka tidak dapat menyetujui pengurangan emisi CO2 lebih cepat jika kekuatan ekonomi dunia tidak memberikan dukungan finansial yang dijanjikan.

Pendanaan akan menjadi topik utama dalam KTT iklim PBB COP29 tahun ini di Baku, Azerbaijan. Dalam KTT tersebut, negara-negara anggota akan merundingkan tujuan pendanaan iklim global baru untuk menggantikan target US$ 100 miliar setelah tahun 2025.

Sebesar 69% dari US$ 91 miliar (Rp 1.478 triliun) dalam pendanaan iklim publik yang diberikan pada 2022 berupa pinjaman. 

Hal ini memicu kritik dari beberapa negara yang rentan terhadap iklim. Pendanaan berupa pinjaman tersebut dianggap memperburuk beban utang.

Negosiator Iklim PBB untuk Perhimpunan Negara-negara Kepulauan Kecil (AOSIS) Michai Robertson mengatakan bahwa AOSIS akan menuntut agar tujuan pendanaan PBB yang baru lebih berfokus pada kualitas dana yang diberikan.

"Jika Anda memberi kami kredit ekspor, jika Anda memberi kami pinjaman non-konsesional, itu tidak bisa dianggap sebagai pendanaan iklim," kata Michai, dikutip dari Reuters pada Rabu (29/5).

Saat ini, negara-negara memiliki pandangan berbeda mengenai target baru tersebut.

Uni Eropa, yang merupakan penyedia pendanaan iklim terbesar di dunia, menginginkan lebih banyak negara berkontribusi terhadap target baru, termasuk ekonomi besar yang sedang berkembang seperti Tiongkok.

Tiongkok, yang kini menjadi penghasil emisi CO2 terbesar di dunia, dengan tegas menentang keinginan Uni Eropa tersebut dalam perundingan iklim PBB sebelumnya.

Daftar negara yang diwajibkan memberikan kontribusi pendanaan iklim PBB hanya mencakup sekitar dua lusin negara yang telah menjadi negara industri beberapa dekade lalu.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.