Para ilmuwan menilai gelombang panas (heatwave) yang melanda Asia pada April lalu diperparah oleh perubahan iklim. Menurut mereka, panas ekstrem telah mempengaruhi ratusan juta orang di seluruh wilayah Asia.
Dari wilayah Palestina di barat hingga India, Thailand, dan Filipina yang berada di timur, kondisi panas terik telah menyebabkan setidaknya puluhan kematian, tanaman hancur, dan memaksa penutupan ribuan sekolah. Di beberapa lokasi, suhu panas mencapai lebih dari 40 derajat Celcius.
Para ilmuwan mengatakan suhu tinggi juga memperparah krisis kemanusiaan yang mengerikan di Gaza, di mana orang-orang terlantar tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak dengan sedikit akses ke air.
"Panas benar-benar memperparah krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza, dengan populasi pengungsi yang memiliki akses terbatas ke makanan, air, perawatan kesehatan, dan umumnya tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak yang menjebak panas, atau tinggal di luar ruangan,” kata Carolina Pereira Marghidan, konsultan risiko panas di Pusat Iklim Bulan Sabit Merah, seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (15/5).
Di Thailand, 30 orang dilaporkan meninggal dunia lantaran kepanasan, dengan suhu yang mencapai 44,1 derajat Celcius pada akhir April. Sementara itu, Filipina juga mengumumkan penutupan semua sekolah negeri selama dua hari setelah panas yang ekstrem tercatat di Manila.
Philippine Atmospheric, Geophysical and Astronomical Services Administration (PAGASA) memperingatkan indeks suhu rata-rata Filipina bisa mencapai 52 derajat Celcius hingga pertengahan Mei 2024. “Kami masih berada di puncak musim kemarau dan ada kemungkinan suhu akan meningkat lebih lanjut terutama selama paruh kedua bulan Mei,” kata peramal cuaca PAGASA, Anna Clauren, seperti dikutip dari Philstar, Senin (29/4).
Bangladesh kembali menutup semua sekolah dasar di seluruh negeri dan lembaga pendidikan lainnya lantaran gelombang panas ekstrem dengan suhu mencapai 43 derajat Celcius. Gelombang panas tersebut dilaporkan telah menyebabkan penyakit dan kematian.
Hasil studi terbaru menunjukkan pemanasan suhu Bumi yang mencapai 1,2 derajat Celcius di atas tingkat praindustri selama empat tahun terakhir memperparah peristiwa gelombang panas.
Namun, studi itu menyebut kematian akibat panas ekstrem tidak tercatat dengan baik di banyak negara. Penelitian sebelumnya menunjukkan jutaan orang telah meninggal lebih awal selama dua dekade terakhir. Di Eropa, di mana pencatatan lebih baik, kematian terkait panas naik 25% dalam satu dekade terakhir.
Para ilmuwan memperingatkan kondisi lebih buruk yang akan datang. Jika suhu Bumi naik ke 2 derajat Celcius, pengulangan panas ekstrem bulan April akan terjadi setiap dua hingga tiga tahun di Filipina. Hal yang sama juga akan terjadi setiap lima tahun di Israel, Palestina, dan negara-negara terdekat.
Sebelumnya, ratusan ilmuwan iklim memperkirakan kelambanan global dalam mengakhiri pembakaran bahan bakar fosil akan menyebabkan setidaknya kenaikan suhu global hingga 2,5 derajat Celcius. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan target Kesepakatan Paris yang sebesar 1,5 derajat Celcius.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.