Kualitas udara di DKI Jakarta menjadi yang terburuk ketiga di dunia pada Rabu pagi (15/5), berdasarkan data situs pemantau kualitas udara IQAir. Berdasarkan pantauan pada pukul 05.10 WIB, indeks kualitas udara (AQI) di Jakarta berada di angka 176 dengan angka partikel halus (particulate matter/PM) 2.5, yang berarti masuk kategori tidak sehat.
Adapun kota dengan kualitas udara terburuk di dunia yaitu Delhi, India dengan indeks kualitas udara di angka 395, diikuti Lahore, Pakistan di angka 197, dan di urutan ke empat adalah Medan, di angka 156.
Sistem Informasi Lingkungan dan Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa kualitas udara di Jakarta secara keseluruhan berada pada kategori tidak sehat. Kategori kualitas udara tersebut berarti tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika.
Sejumlah wilayah yang terpantau yaitu Bundaran HI (82), Kelapa Gading (90), Jagakarsa (76), Kebon Jeruk (101) dan Lubang Buaya (101).
Masyarakat Diminta Gunakan Masker
Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia Handayani, mengatakan masyarakat diimbau menggunakan masker saat ke luar rumah ketika kualitas udara menurun. Selain itu masyarakat diminta untuk melakukan langka kecil dalam mengurangi polusi.
“Masyarakat diharapkan menggunakan transportasi umum, dan melakukan uji emisi kendaraan pribadi,” kata Dwi Oktavia saat melakukan kampanye edukasi bertajuk “Udara Bersih Untuk Jakarta” di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Pandawa Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Sarjoko, mengatakan Pemprov DKI Jakarta memprioritaskan pembangunan integrasi data kualitas udara dan kesehatan sejak beberapa bulan terakhir. Hal ini dibuktikan, salah satunya melalui integrasi sistem Elang Biru Jaya dan sistem Uji Emisi Kendaraan Roda 2 dan Roda 4 milik KIR Dinas Perhubungan.
“Sinergi tersebut memungkinkan pemerintah untuk mengintervensi emisi langsung dari sumbernya, serta mendorong kepatuhan emisi gas buang kendaraan bermotor agar memenuhi standar,” ujar Sarjoko.
Selain itu, pemerintah juga mengembangkan sistem peringatan dini risiko paparan polusi udara. Hal itu dilakukan dengan mengkaji skema-skema disinsentif perparkiran, meningkatkan manajemen pelayanan transportasi, dan implementasi konsep kawasan rendah emisi terpadu.
Dia mengatakan, Pemprov DKI memperkuat fasilitas data inventarisasi emisi dan stasiun pemantau udara dari sektor transportasi dan industri. Saat ini DKI Jakarta telah memiliki lima stasiun pemantau referensi tambahan dan 23 sensor udara berbiaya rendah. Alat-alat pemantauan tersebut dibutuhkan sehingga pemda memiliki data yang valid dan berkualitas.
"Dengan adanya data yang lebih banyak, kita dapat lebih presisi dalam mengidentifikasi sumber polusi, mengkomunikasikannya kepada publik, dan membuka akses keterbukaan informasi yang lebih luas,” kata Sarjoko.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.