Desa Bukit Harapan di Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki banyak sumber daya alam (SDA) yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
Desa ini memiliki beberapa kelompok tani hutan (KTH) yang mengelola area perhutanan sosial dengan skema hutan kemasyarakatan (HKm). Melalui skema ini, masyarakat bisa mengelola hutan sembari meningkatkan taraf perekonomiannya.
Salah satu KTH yang mengelola HKm di Desa Bukit Harapan adalah KTH Buhung Lali. KTH Buhung Lali diinisiasi pada 8 Maret 2008, berawal dari kesadaran Muhammad Thamrin betapa pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan SDA.
Thamrin bersama dengan Kepala Desa Bukit Harapan saat itu, Ramli kemudian menginisiasi pertemuan yang melibatkan berbagai pihak. Misalnya, tokoh masyarakat setempat, Sulawesi Community Foundation (SCF), aparatur desa, Dinas Kehutanan, Badan Ketahanan Pangan hingga Dinas Koperasi Kabupaten Bulukumba.
Lewat pertemuan itu lah semua pembahasan mengenai agenda pembentukan KTH Buhung Lali dimusyawarahkan dan diputuskan.
Akhirnya pada Juli 2011, KTH Buhung Lali resmi mendapatkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK/363/Menhut-II/2011. Tidak lama berselang, KTH Buhung Lali mendapatkan Izin Usaha Pengelolaan HKm (IUPHKm) dengan SK No. 384/XI/2011.
“Dalam SK itu, luas area garapan kami mencapai 78,78 hektare,” Kata Ketua KTH Buhung Lali Muhammad Thamrin ketika Tim Katadata Green berkunjung ke rumahnya, Senin (6/2).
Thamrin bersama dengan anggotanya kemudian memanfaatkan tanaman aren yang banyak tumbuh di desa sebagai komoditi yang mereka olah dalam kelompok. Itu langsung dilakukan sejak mereka menerima SK pemanfaatan hutan.
Awalnya, KTH Buhung Lali mengolah aren menjadi gula batok. Namun, gula batok memiliki umur penyimpanan singkat hanya sekitar dua bulan, dan setelah itu gula batok akan meleleh sehingga harganya menjadi turun.
Padahal, harga jual gula batok fresh saja sudah di kisaran Rp10.000 pada 2014 dan pada 2020 naik sedikit menjadi Rp12.500. Harga jual gula batok di pasar cenderung stagnan dan tidak banyak berubah.
Thamrin beserta anggota KTH berkeinginan untuk meningkatkan nilai jual aren. Mereka kemudian berdiskusi. “Dari diskusi itu lahir ide untuk membuat gula semut,” ujarnya.
KTH Buhung Lali mulai memproduksi gula semut sejak 2014. Proses pembuatan gula semut sama dengan pembuatan gula batok, hanya saja memerlukan proses lanjutan. Setelah aren berbentuk batok, gula digerus dan diayak hingga menghasilkan butiran lebih kecil dan halus.
Gula semut dapat bertahan hingga tiga tahun. Dibanding gula batok, harga gula semut naik cukup signifikan. Pada 2014, harga gula semut mencapai Rp12.500 per kilogram dan pada 2024 dengan kemasan 250 gram seharga Rp15.000.
Saat ini gula semut yang diproduksi KTH Buhung Lali telah dijual ke area Sulawesi dan Kalimantan hingga diekspor ke berbagai negara, seperti Malaysia, Jepang, dan India. “Lumayan memberikan tambahan penghasilan di luar kegiatan bertani sekitar Rp1-1,5 juta per bulan bagi anggota yang aktif memproduksi,” ujar Thamrin.
Semangat Pemuda Desa Bukit Harapan
Pencapaian KTH Buhung Lali tidak hanya pada produksi gula semut, tapi juga merambah ke sektor ekowisata dengan diresmikannya Bonto Massailea pada 2019.
Pembicaraan ekowisata berawal dari pertemuan Thamrin dengan Imran Zainal yang saat itu sebagai penyuluh di Kabupaten Bantaeng pada acara pelatihan untuk kelompok perhutanan sosial (KPS). Thamrin pun meminta Imran untuk membantunya mendirikan ekowisata.
Permintaan Thamrin pun disanggupi oleh Imran. “Saya minta ke Pak Thamrin untuk mengumpulkan beberapa pemuda desa,” katanya.
Menurut Imran, peran pemuda sangatlah penting karena mereka memiliki semangat dan ide-ide yang menarik untuk mengembangkan ekowisata dan daerahnya. Anak muda juga dinilai lebih akrab dengan teknologi sehingga akan sangat berguna untuk mempromosikan ekowisata di sosial media.
Dari situlah kemudian Imran kerap mengunjungi Desa Bukit Harapan untuk berdiskusi bersama Thamrin dan beberapa pemuda desa. “Ada beberapa pemuda yang orang tuanya memiliki izin kelola di HKm Bangkeng Buki dan anggota KTH Buhung Lali, mereka ikut berdiskusi juga dengan kami,” Thamrin menimpali.
Salah satunya Humaera. Ia beranggapan bahwa desanya memiliki potensi alam yang bisa dikembangkan dan layak dikunjungi. “Kalau main ke Bangkeng Buki terus mendaki hingga puncak itu ada kesenangan dan kepuasan sendiri. Saya yang warga lokal saja senang, apalagi wisatawan,” ujarnya.
Diskusi-diskusi yang dilakukan selama kurang lebih dua bulan itu cukup intens. Mulai membicarakan konsep wisata hingga membahas kisah sukses di beberapa tempat sebagai contoh pengelolaan.
“Bisa dari siang sampai malam diskusinya,” kata Imran mengingat momen-momen pendirian Bonto Massailea.
Setelah diskusi yang cukup panjang, terbentuklah Ekowisata Bonto Massailea. Sejak 2021, Ekowisata Bonto Massailea dikelola Pokdarwis dengan arahan KTH Buhung Lali.
Anggota Pokdarwis, Indra, menjelaskan semangat para pemuda dan warga desa ketika menyiapkan Bonto Massailea. Indra berujar spot foto kapal pinisi di puncak Bonto Massailea dibuat secara bergotong royong.
“Kapal pinisi kami buat bersama-sama pakai kayu kering di sekitar hutan. Kami gotong ramai-ramai jadilah kapal pinisi ini,” kata Indra sambil menunjuk kapal pinisi yang merupakan ikon Kabupaten Bulukumba.
Upaya Kolaborasi
Dalam proses penyelenggaraan kegiatan, KTH Buhung Lali bekerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bialo. Ketua KPH Bialo Yasir Yunus mengatakan lembaganya akan terus mengawal KTH Buhung Lali agar bisa lebih berkembang ke arah yang lebih baik.
“Penyuluh kami, Imran Zainal, akan selalu siap jika KTH membutuhkan pendampingan,” kata Yasir ketika ditemui Katadata Green di kantornya, Senin (5/2).
Imran menimpali bahwa saat ini sudah terbentuk KUPS Cafe Mart yang menjadi wadah penyaluran dan promosi produk hasil hutan dari Bangkeng Buki. Gula semut, kopi liberika, dan madu trigona produksi KTH Buhung Lali bisa ditemukan di KUPS Cafe Mart.
“Di KUPS Cafe Mart pembeli cukup banyak apalagi kalau di hari libur,” ujarnya.
Bahkan, salah satu anggota Pokdarwis Buhung Lali, yaitu Aswar menjadi barista di KUPS Cafe Mart. “Saya jadi barista di KUPS Cafe Mart, lumayan bisa sambil mengenalkan produk KTH sekaligus Bonto Massailea ke pengunjung,” kata Aswar yang saat ini juga mengelola akun sosial media Pokdarwis Buhung Lali.
Selain KPH Bialo, KTH Buhung Lali juga dalam proses penjajakan kerja sama dengan Pemerintah Desa Bukit Harapan. Meski masih dalam tahap diskusi, pengurus desa telah menyatakan siap mengalokasikan alokasi dana desa (ADD) untuk pengembangan Bonto Massailea.