Pembangunan wilayah terpadu atau Integrated Area Development (IAD) berbasis perhutanan sosial atau Integrated Area Development (IAD) merupakan pendekatan strategis dalam mengelola sumber daya hutan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama.
Melalui perhutanan sosial, masyarakat diberikan kesempatan untuk terlibat langsung dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam, yang tidak hanya berfungsi sebagai upaya konservasi, tetapi juga sebagai sumber mata pencaharian yang berkelanjutan.
IAD memiliki peran strategis untuk mempercepat capaian perhutanan sosial. Pasalnya, model ini mampu mengintegrasikan berbagai aspek pembangunan secara terpadu di tingkat tapak.
Akan tetapi, masalah IAD bukan perencanaan. Penerapan di lapangan menghadirkan sejumlah tantangan. Seperti model kebijakan, perencanaan kerja sama yang tidak mencerminkan kondisi di lapangan serta nomenklatur IAD yang masih sulit dipahami oleh masyarakat.
Perkara lain seperti kelembagaan yang belum kuat turut membatasi kemampuan masyarakat dalam mengelola program secara berkelanjutan.
Terakhir, pembiayaan juga menjadi masalah yang sering muncul seiring keterbatasan akses terhadap sumber dana, serta belum optimalnya peran mitra usaha.
Dalam wawancara dengan Katadata, Direktur Eksekutif Lembaga Alam Tropika (Latin), Thomas Oni Veriasa, menyampaikan sejumlah rekomendasi penguatan IAD. Menurutnya, prinsip utama pelaksanaan kebijakan ini adalah inklusif, partisipatif, dan komprehensif.
Alih-alih diterapkan secara top-down dari pusat ke daerah, implementasi IAD mesti berlandaskan asas desentralisasi: berangkat dari inisiatif masyarakat.
Thomas memberikan rekomendasi bahwa sebelum kebijakan ini diterapkan, maka perlu perencanaan multi stakeholder secara menyeluruh. Di dalam kajian awal itu terdapat pemetaan tentang ragam potensi, serta pembagian peran dan tanggung jawab antar stakeholder termasuk masyarakat,
“Usul dari kami jika IAD ingin berjalan dengan baik, maka yang menjadi lead adalah pemerintah daerah,” kata Thomas, Minggu (10/8). Dengan begitu, dokumen perencanaan IAD bisa masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Menurutnya, kendala utama IAD terletak pada belum adanya urgensi bagi masyarakat maupun pemerintah daerah dalam menerapkan program tersebut.
“Misalnya, apa manfaat IAD untuk daerah? Kalau saya mengelola kawasan hutan apa yang bisa saya dapatkan?,” ujarnya. Dia memperkirakan bahwa kampanye kebijakan ini belum efektif. Sebab, selama ini sosialisasi IAD terlalu teknokratis. Akibatnya, masyarakat kesulitan memahami esensi kebijakan tersebut.
Thomas tak menampik bahwa model IAD memiliki beragam potensi: peningkatan skala usaha kehutanan masyarakat, serta optimalisasi potensi ekonomi yang mengedepankan karakter lokal.
Namun, menurutnya pemerintah pusat bisa menawarkan insentif baik fiskal, termasuk maupun non fiskal untuk mendorong minat daerah dalam melaksanakan IAD. Misalnya, insentif berupa transfer anggaran berbasis ekologi bagi daerah yang berhasil menjaga kelestarian ekosistem hutan.