Ledakan konsumsi gawai di era digital menyisakan ancaman yang tak kalah besar, yakni timbunan sampah elektronik atau e-waste. Persoalan ini bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan berubah menjadi krisis kesehatan global yang tumbuh dalam senyap.
Bayangkan, dunia pada 2022 memproduksi 62 juta ton sampah elektronik. Itu setara dengan bobot lebih dari 6.000 menara Eiffel. Dan, jika situasi tak berubah, timbulan e-waste diprediksi melonjak menjadi 82 juta ton pada 2030, menurut laporan Global E-waste Monitor.
Yang lebih mengkhawatirkan, cuma 22,3 persen dari total e-waste yang berhasil didaur ulang secara layak. Sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), dibakar, atau diperdagangkan secara ilegal ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Di Indonesia, situasinya tak jauh berbeda. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan RI menghasilkan sekitar 2 juta ton sampah elektronik setiap tahun. Pada 2030, volumenya diprediksi meningkat menjadi 4,4 juta ton.
Namun, bahaya sebenarnya tak terletak pada jumlahnya semata. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama memperingatkan soal ini. Berdasarkan sejumlah studi epidemiologi, aktivitas daur ulang sampah elektronik yang sembarangan dapat menyebabkan kerusakan tubuh manusia.
Sebab, sampah elektronik dikategorikan sebagai limbah berbahaya yang mengandung berbagai bahan beracun, seperti dioksin, timbal, dan merkuri. Dan, yang paling rentan terkena paparan racun itu adalah anak-anak dan ibu hamil.
Menurut WHO, di banyak negara berkembang, anak-anak menjadi pekerja dalam aktivitas pengelolaan sampah elektronik secara informal. Masalahnya, praktik serampangan itu dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh anak, dan menyisakan dampak seumur hidup.
Laman resmi WHO menyebutkan berbagai risiko gangguan kesehatan pada anak-anak dan ibu hamil sebagai berikut:
Studi lain menunjukkan hasil serupa. Jurnal Ankit, Lala Saha, dan Virendra Kumar dkk menyebutkan sampah elektronik mengandung 70 persen material beracun. Sebut misal, timbal dari baterai atau kabel.
Lalu, merkuri dari layer dan sensor. Kemudian, Kadmium dari baterai dan solder. Ada pula kromium dari pelapis anti korosi. Dan, arsenik dari semikonduktor.
Dalam jurnal bertajuk Electronic waste and their leachates impact on human health and environment: Global ecological threat and management, beberapa dampak kesehatan akibat paparan e-waste yakni gangguan perkembangan janin, penurunan fungsi kognitif dan neurologis pada anak, dan bahkan kanker paru-paru, kulit, dan ginjal.
Sebagai catatan, hasil studi jurnal tersebut berdasarkan tinjauan literatur komprehensif (review article) yang menganalisis 268 publikasi, termasuk jurnal dan buku, yang terbit pada 2015-2021.
Fakta mengenai “racun digital” menghadirkan urgensi kolaborasi dari seluruh pihak. WHO merekomendasikan negara memperketat regulasi pengelolaan e-waste, mengawasi daerah pengumpulan dan komunitas terdampak, serta mengintervensi pengelolaan e-waste secara informal.
Sementara itu, United Nations Institute for Training and Research (UNITAR) menggarisbawahi prinsip extended producer responsibility (EPR). Sebagai informasi, prinsip tersebut mendorong produsen bertanggung jawab atas pengelolaan produk setelah masa pakainya berakhir. Ada pula rekomendasi pembangunan fasilitas daur ulang formal yang tersertifikasi
Di atas itu semua, publik juga memegang peranan penting. Edukasi tentang pentingnya memilih produk yang bisa diperbaiki serta mudah didaur ulang merupakan Langkah kecil yang berarti.
Pun begitu, sejumlah inisiatif edukasi e-waste di Indonesia telah hadir. Salah satunya kampanye Jaga Bumi oleh erafone sejak 2023.
Melalui Jaga Bumi, perusahaan ritel seluler multi-brand ini menghadirkan drop box di toko fisiknya bagi konsumen yang ingin membuang perangkat elektroniknya secara aman.
Tahun ini, setelah sukses pada kampanye di Jabodetabek (Maret-Mei) dan Bandung (Juni-Agustus), erafone memperluas kampanye serupa di Bali (September-November).
Per Agustus 2025 kampanye erafone Jaga Bumi berhasil mengumpulkan 2.255 unit e-waste di seluruh Indonesia. Jumlah ini setara dengan pengurangan emisi karbon sekitar 161,7 ton CO₂ atau 161.700 kg CO₂.
Menurut Group Chief HC, GA, Legal & CSR Erajaya Group, Jimmy Perangin Angin, Jaga Bumi merupakan inisiatif perusahaan yang berlandaskan prinsip ESG, akronim dari environment, social, and governance. Pada indikator sosial, isu mengenai kesehatan karyawan dan masyarakat menjadi salah satu motivasi utama perusahaan dalam meluncurkan kampanye ini,
“Selain isu lingkungan, isu kesehatan menjadi salah satu entry point kami dalam melakukan sosialisasi dan peningkatan awareness ke publik tentang sampah elektronik,” kata Jimmy dalam keterangan tertulis kepada Katadata Green di Jakarta, Rabu (15/10).
Jimmy menyampaikan bahwa erafone akan terus mengembangkan strategi dan aksi yang berkaitan dengan program Jaga Bumi. Menurutnya, tahun 2025 ini menjadi salah satu milestone perusahaan dalam melakukan pemetaan untuk memperluas wilayah jangkauan program.
Dia menyatakan pula bahwa perusahaan turut membuka opsi jika kampanye ini berkembang menjadi gerakan industri bersama. “Hal ini sangat memungkinkan, terutama dari berbagai stakeholder yang bersinggungan dengan produksi, distribusi dan konsumen e-waste secara komprehensif,” ujarnya.