Pemerintah disarankan menggunakan anggaran dari pungutan batu bara untuk melanjutkan rencana pensiun dini PLTU, di tengah keterbatasan pendanaan dari lembaga asing.
Direktur Eksekutif Yayasan Sustain, Tata Mustasya, mengatakan meskipun hingga saat ini belum ada kejelasan soal pendanaan asing untuk menyuntik mati PLTU batu bara, Indonesia bisa berinovasi untuk mencari sumber dana lainnya. Salah satunya dengan menaikkan pungutan produksi batu bara. Analisis Yayasan Sustain menyebut pemerintah bisa memperoleh tambahan hingga US$5,63 miliar atau Rp84,55 triliun hingga US$23,58 miliar atau Rp353,7 triliun per tahun dari pungutan tersebut.
“Tidak perlu menunggu hibah lembaga donor atau negara lain. Ini juga merupakan disinsentif untuk produksi batu bara yang selama ini memperoleh keuntungan sangat besar,” katanya dalam keterangan resmi.
Tata mengatakan penutupan dini PLTU harus dibarengi dengan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi dan pengembangan energi terbarukan. Salah satu pembangkit yang akan ditutup yakni PLTU Cirebon 1 membutuhkan paket pembiayaan sebesar US$230 juta atau Rp 3,45 triliun hingga US$300 juta atau Rp4,5 triliun. Selain biaya tersebut, PLN juga membutuhkan US$1,3 miliar atau Rp19,5 triliun untuk peningkatan sistem guna mengakomodasi integrasi energi terbarukan pada jaringan PLN.
Tata mengatakan pungutan produksi batu bara juga bisa digunakan untuk membiayai Investment Focus Area (IFA) pengembangan jaringan transmisi dan distribusi listrik pada JETP, yang membutuhkan biaya hingga US$19,7 miliar atau Rp295,5 triliun hingga tahun 2030. Selanjutnya dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan energi terbarukan, seperti yang sudah dianggarkan dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP tahun 2023.
Anggaran saat ini pun bisa dikelola lebih baik demi meningkatkan anggaran untuk infrastruktur energi terbarukan. Berdasarkan Dasbor Pembiayaan Pembangkit Listrik di Indonesia yang baru saja diluncurkan oleh Climate Policy Initiative (CPI), rata-rata investasi tahunan (2019-2021) untuk energi terbarukan baru mencapai US$2,2 miliar, terpaut jauh dari US$9,1 miliar per tahun yang dibutuhkan untuk mencapai target ENDC berupa 34% bauran energi terbarukan pada tahun 2030. Nilai investasi untuk energi terbarukan saat ini juga juga masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata investasi untuk bahan bakar fosil sebesar sebesar US$3,7 miliarer tahun.
“Data menunjukkan bahwa investasi energi fosil hampir dua kali lipat melebihi pendanaan untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Ada peluang strategis mengalihkan arus investasi tersebut untuk mengembangkan energi terbarukan menuju perekonomian Indonesia yang lebih kompetitif dan rendah karbon,” jelas Tiza Mafira, Direktur CPI Indonesia.
Dari sisi kapasitas listrik, penutupan PLTU tidak akan merusak kebutuhan listrik masyarakat, asalkan pengembangan energi terbarukan juga dilakukan dengan upaya maksimal. Catatan Trend Asia, pengembangan energi bersih dan terbarukan yang bisa dilakukan dengan segera adalah pembangkit listrik tenaga surya atap baik untuk perumahan atau komersial dan industri, pembangkit listrik tenaga angin, serta pembangkit listrik tenaga air skala kecil termasuk energi terbarukan berbasis komunitas. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan peningkatan investasi publik serta insentif, sehingga membuatnya kompetitif terhadap energi fosil.