Presiden Prabowo Subianto berencana membangun tanggul raksasa di sepanjang Laut Jawa untuk menahan kenaikan air laut.
Utusan Presiden Bidang Iklim Hashim Djojohadikusumo mengatakan tanggul laut ini akan membentang sepanjang 700 kilometer dari Banten hingga Jawa Timur. Infrastruktur ini diharapkan bisa melindungi hamparan sawah di Pantai Utara Jawa (Pantura) yang merana akibat kenaikan air laut. Proyek yang akan memakan waktu pembangunan hingga 20 tahun ini diklaim sudah dicanangkan sejak 1994 di masa Orde Baru.
“It’s never too late untuk melindungi jutaan hektare sawah paling produktif yang terletak di Pantura,” katanya, Senin (3/2).
Pembangunan tanggul laut raksasa memang hal yang umum dilakukan sejak ribuan tahun silam. Pada 2019, para ilmuwan bahkan menemukan reruntuhan tanggul laut di Israel yang diperkirakan sudah berusia 7.000 tahun. Di era modern, beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang juga mengandalkan tanggul laut untuk menahan laju kenaikan air laut. Namun, benarkah tanggul ini akan efektif melawan laju perubahan iklim?
Setelah bencana gempa dan tsunami menghantam wilayah Tohoku yang memakan 16.000 orang korban pada 2011, Pemerintah Jepang membangun tanggul laut sepanjang 400 kilometer dengan tinggi 15 meter untuk menahan potensi tsunami dan kenaikan air laut. Peneliti University of East London, Ravindra Jayaratne mengatakan pembangunan tanggul laut yang diproyeksikan untuk melawan perubahan iklim, justru menjadi bahan bakar yang berkontribusi terhadapnya.
“Kami memperkirakan pembangunan tanggul laut di Jepang menghasilkan 6 juta ton emisi CO2,” katanya, dikutip dari The Conversation.
Tidak hanya dari sisi emisi karbon, pembangunan tanggul laut juga menghadapi masalah teknis desain yang berpotensi membuat tanggul roboh. Hal ini terjadi karena ombak yang secara konstan menghantam tanggul laut akan mengikis sedimen di bawah tanggul dan membawanya kembali ke lautan. Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai ‘scour’ yang menjadi penyebab utama robohnya tanggul.
Kristina Hill, Profesor Urban Ecology di University of California Berkeley, mengatakan kenaikan air laut akan terus terjadi, sehingga tanggul laut harus terus menerus diperbaiki. Proses perbaikan ini memakan banyak waktu dan biaya bagi generasi di masa depan.
“Memperbaiki tanggul itu seperti mencabut gigi yang busuk. Ini proses yang rumit, menyakitkan, dan sangat memakan waktu,” tulisnya, seperti dikutip dari Bulletin of the Atomic Scientist.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut tanggul laut memang bisa menjadi salah satu solusi kenaikan permukaan air laut. Namun, menjaga keasrian ekosistem kawasan pesisir seperti mangrove, rumput laut, dan terumbu karang tetap menjadi jalan yang terbaik.