Pelaku industri minyak dan gas di Amerika Serikat rupanya tidak sepakat dengan kebijakan Trump yang memutuskan mundur dari Kesepakatan Paris.
Produsen migas sebetulnya akan jadi pihak yang paling diuntungkan dengan kenaikan Trump sebagai presiden yang berjanji akan mendukung penuh industri domestik. Namun, inkonsistensi AS dalam kesepakatan iklim dinilai bakal membahayakan rencana investasi industri migas dalam jangka panjang.
Presiden Kamar Dagang Global Energy Institute yang mewakili perusahaan energi di AS, Marty Dubin mengatakan para anggotanya lebih suka mempertahankan keterlibatan AS dalam Kesepakatan Paris.
“Sektor swasta berkomitmen untuk mengembangkan solusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi ekonomi global yang sedang tumbuh sambil mengatasi tantangan iklim," katanya, dikutip dari Reuters, Kamis (23/1).
Hal senada juga diungkapkan oleh Bethany William, Juru Bicara American Petroleum Institute yang anggotanya termasuk ExxonMobil dan Chevron yang menyebut asosiasi telah lama mendukung Kesepakatan Paris.
CEO Exxon Darren Woods bahkan dikabarkan telah mengajukan permohonan awal kepada presiden yang baru terpilih pada COP29 di Azerbaijan untuk mempertahankan AS. Ia menyebut siklus keluar dan masuk kembali ke dalam perjanjian tersebut akan menciptakan ketidakpastian kebijakan jangka panjang bagi perusahaan.
“Amerika adalah pemimpin dunia dalam produksi emisi dan pengurangan emisi,” kata Presiden American Exploration and Production Council, Anne Bradbury, menekankan pentingnya AS ambil bagian dalam diskusi iklim global.
Reaksi industri migas AS ini menandai babak baru perselisihan industri yang selama ini dikenal sebagai pendukung berat Donald Trump. Exxon dan sejumlah perusahaan migas lainnya memang telah merencanakan dalam jangka panjang untuk menyediakan teknologi yang lebih ramah lingkungan seperti hidrogen hijau dan penangkapan karbon.
Spesialis Risiko Kewajiban Iklim di firma hukum asuransi Clyde & Co, Wynne Lawrence, mengatakan kebijakan Trump soal iklim menempatkan perusahaan-perusahaan AS dalam risiko tinggi.
“Ini akan meningkatkan ambiguitas regulasi, menciptakan peningkatan kompleksitas, dan berpotensi menyebabkan ketidakpastian dan sengketa hukum,” ujarnya.