Negara-negara berkembang memohon kepada Majelis Umum PBB agar negara-negara terkaya di dunia berbuat lebih banyak untuk membantu mereka mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh perubahan iklim yang ekstrem.
Para pemimpin negara-negara kepulauan kecil yang paling berisiko terkena dampak kenaikan permukaan air laut mengatakan, sudah saatnya negara-negara yang membakar sebagian besar bahan bakar fosil dipersalahkan atas kenaikan suhu bumi. Mereka harus berhenti memberikan “basa-basi” terhadap masalah ini.
“Saya bertanya-tanya apakah negara-negara kita semakin menjauh dari persatuan dan keteguhan moral yang kita perlukan untuk melindungi rakyat kita,” ujar Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Samoa, Cedric Schuster, yang mengetuai Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS), seperti dikutip Reuters, Senin (23/9).
Menyampaikan pesan yang sama atas nama blok negosiasi Negara Kurang Berkembang, Menteri Iklim dan Sumber Daya Alam Malawi Yusuf Mkungula mengatakan, negara-negara industri harus memimpin upaya mengatasi perubahan iklim.
Permohonan tersebut menggarisbawahi kesenjangan yang semakin melebar antara negara-negara yang paling banyak berkontribusi terhadap pemanasan global dan negara-negara yang paling menderita dampak terburuknya. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi masalah lingkungan, tetapi juga masalah keadilan global.
“Peristiwa iklim datang lebih cepat dan lebih sering,” ujar Perdana Menteri Bahama Phillip Davis kepada Reuters, Senin (23/9). Ia mengatakan bahwa ia memohon kepada negara-negara kaya untuk tetap fokus pada masalah ini.
"Sejauh ini, sinyal yang dikirim [oleh negara-negara] tidak sesuai dengan komitmen yang telah dibuat,” ujarnya.
Sebelumnya, para eksekutif dari perusahaan-perusahaan besar termasuk pengguna energi besar Amazon.com dan produsen listrik seperti Vestas dan Iberdrola, mendesak para pemimpin dunia untuk menindaklanjuti kesepakatan yang dibuat pada KTT COP28 tahun lalu. Kesepakatan itu adalah untuk melipatgandakan kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030.
Di tempat lain, 50 bank AS mengumumkan rencana untuk bekerja sama dalam mempercepat investasi dalam energi bersih. Sementara itu, kelompok terpisah yang terdiri atas 14 bank termasuk Citi dan Bank of America, menyerukan peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi nuklir secara global.
Namun, penelitian terbaru Moody's Ratings memperingatkan bahwa investasi iklim global masih kurang triliunan dolar dari jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai emisi nol pada tahun 2050 dan untuk beradaptasi terhadap dampak iklim. Lembaga tersebut mengatakan bahwa meskipun investasi ini akan menyebabkan utang yang lebih tinggi bagi pemerintah, tidak melakukan investasi akan jauh lebih mahal.
Analisis lain yang melihat pada tingkat yang lebih lokal menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan, kota, dan wilayah besar di dunia masih belum memiliki rencana atau target untuk mengurangi emisi yang menyebabkan pemanasan iklim.
Menurut Net Zero Tracker, sebuah koalisi penelitian yang berbasis di Universitas Oxford, kesenjangan komitmen ini merupakan hasil dari isu iklim yang bersaing untuk mendapatkan perhatian pemerintah. Isu iklim harus bersaing dengan tantangan lain seperti perang, pemilihan umum, atau masalah ekonomi.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.