Katadata Green
Banner

G20 Sepakat Kenakan Pajak Kepada Orang-Orang Superkaya di Dunia

123.com/Dzmitry Skazau
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 1 Agustus 2024, 16.35

Untuk pertama kalinya, para pemimpin keuangan dari negara-negara G20 menyetujui pajak kekayaan bagi orang-orang superkaya di dunia.

Pajak tersebut dapat menghasilkan sekitar €230 miliar (Rp 4.034 triliun) untuk mengatasi masalah-masalah seperti perubahan iklim dan kemiskinan.

Pajak kekayaan diusulkan dalam pertemuan antara menteri keuangan dan bankir sentral dari negara-negara ekonomi maju dan berkembang terbesar di dunia di Rio de Janeiro.

Berdasarkan pernyataan bersama pada hari Jumat lalu, semua negara sepakat bekerja sama untuk memastikan bahwa individu-individu dengan kekayaan bersih yang sangat tinggi dikenai pajak secara efektif.

Namun, di balik konsensus tersebut, masih terdapat ketidaksepakatan mengenai apakah rencana itu layak, siapa yang akan mengawasi prosesnya, dan bagaimana cara mengenakan pajak pada orang-orang superkaya.

Beberapa pemerintahan secara pribadi skeptis bahwa hal itu dapat berhasil.

Apakah ada dukungan untuk mengenakan pajak bagi orang-orang superkaya?

Brasil memimpin gerakan untuk mengenakan pajak bagi orang-orang superkaya.

Negara tersebut telah menempatkan perubahan iklim dan kemiskinan di puncak agenda kepemimpinannya dalam pertemuan G20 tahun ini sebelum menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB COP30 pada 2025.

Laporan oleh Ekonom Prancis Gabriel Zucman yang ditugaskan oleh Brasil menemukan bahwa para miliarder saat ini membayar pajak setara dengan 0,3% dari kekayaan mereka.

Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva mengharapkan pajak minimum 2% untuk 3 ribu miliarder terkaya yang dapat menghasilkan pendapatan antara €184 miliar (Rp 3.225 triliun) dan €230 miliar (Rp 4.031 trilikun) secara global setiap tahun.

Laporan tersebut mengatakan uang tersebut dapat mendanai layanan publik seperti pendidikan dan perawatan kesehatan, di samping perjuangan melawan perubahan iklim.

Meskipun secara teori sudah disetujui, beberapa negara menolak usulan tersebut, termasuk Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner dan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen.

"AS melihat perlunya atau benar-benar berpikir bahwa penting untuk mencoba menegosiasikan perjanjian global mengenai hal tersebut," kata Janet.

Para ahli mengatakan perjanjian global diperlukan untuk menghindari beberapa negara menjadi surga pajak bagi orang-orang yang sangat kaya.

Negara lain termasuk Prancis, Spanyol, Afrika Selatan, Kolombia, dan Uni Afrika (persatuan benua yang beranggotakan 55 negara) mendukung inisiatif tersebut.

Gabriel Zucman mengatakan masih terlalu dini bagi negara-negara untuk menyetujui usulannya, tetapi menyambut baik konsensus di antara negara-negara G20 yang menginginkan perbaikan tata cara pengenaan pajak kepada orang-orang superkaya.

Aktivis iklim menyambut baik pajak bagi orang-orang superkaya

Konsensus ini juga disambut baik oleh aktivis lingkungan yang berharap sebagian dana yang dapat diperoleh dari pajak seperti ini dapat digunakan untuk mengatasi krisis iklim.

“Kami sering mendengar tidak ada cukup uang untuk mengatasi krisis iklim, yang diperkirakan akan menghabiskan biaya triliunan dolar setiap tahunnya. Namun, mengenakan pajak pada orang-orang superkaya bisa mulai menunjukkan bahwa ada uang yang cukup. Uang tersebut hanya perlu disalurkan menjauh dari kehancuran,” kata Pengamat Politik Internasional untuk Greenpeace Brazil Camila Jardim.

Pemimpin Kebijakan Pajak Oxfam International Susana Ruiz menyebutnya sebagai kemajuan global yang serius dalam kerja sama pajak internasional.

“Akhirnya, orang-orang terkaya diberi tahu bahwa mereka tidak dapat mengakali sistem pajak atau menghindari membayar pajak sesuai dengan porsinya," ujar Susana, dikutip dari Euronews, Selasa (30/7).

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.