India menolak untuk menerima usulan Uni Eropa untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada industri penghasil karbon, yang bersedia diimbangi (offset) ketika produk tersebut memasuki perbatasan blok beranggotakan 27 negara tersebut.
Saran terbaru diajukan oleh delegasi Uni Eropa yang dipimpin oleh Gerassimos Thomas, yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Perpajakan dan Serikat Pabean dalam Komisi Eropa.
Dia membela usulan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon (CBAM) dalam pertemuannya dengan pejabat India.
"Saran mereka tidak praktis. Tim mereka telah datang dan menemui kami, solusi yang mereka tawarkan tidak berhasil untuk ekonomi berkembang seperti India," kata Sekretaris Urusan Ekonomi India Ajay Seth, dikutip dari Reuters, Senin (29/7).
Pemerintah India telah menyampaikan kepada delegasi Uni Eropa bahwa CBAM yang diusulkan tidak adil dan merugikan biaya pasar domestik.
Uni Eropa tahun lalu menyetujui rencana pertama di dunia untuk mengenakan tarif pada impor barang-barang berkarbon tinggi, termasuk baja, aluminium, dan semen, yang bertujuan mencapai nol emisi gas rumah kaca pada 2050.
Setelah kunjungan delegasi awal bulan ini, Uni Eropa mengatakan negosiasi dengan India berlanjut pada tingkat teknis.
Pejabat Uni Eropa berupaya untuk menarik perhatian negara-negara seperti Tiongkok, Afrika Selatan, dan India yang menentang CBAM.
India telah diberitahu oleh Delegasi Komisi Eropa bahwa tujuan utama pajak karbon bukanlah untuk meningkatkan pendapatan, tetapi untuk memastikan pasokan barang-barang yang lebih ramah lingkungan ke pasar Uni Eropa.
Delegasi Uni Eropa menyarankan India untuk menerapkan pajak karbonnya sendiri guna mendanai kemajuan dalam rantai pasokan dan memangkas emisi karbon, sambil mempertahankan pangsa pasarnya di Uni Eropa.
Menurut Ajay Seth, penghijauan industri baja akan memerlukan biaya yang lebih tinggi bagi perekonomian.
"Dengan tingkat pendapatan yang merupakan seperduapuluh dari tingkat pendapatan di Eropa, dapatkah kita membayar harga yang lebih tinggi? Tidak, kita tidak mampu," ujarnya.
Dengan asumsi tidak ada rencana domestik India untuk mengenakan pajak atas produksi karbon tinggi, dan memberi insentif untuk beralih ke metode karbon rendah,
Uni Eropa berencana untuk memungut pajak karbon pada setiap pengiriman baja dan aluminium mulai 1 Januari 2026, yang berpotensi mengenakan tarif antara 20% dan 35%, menurut perkiraan industri.
Para analis memperingatkan kebuntuan terkait emisi karbon dapat membebani perdagangan bilateral dan memengaruhi pembahasan perjanjian perdagangan bebas (FTA).
"Karena India sedang merundingkan FTA dengan Uni Eropa, India harus siap menghadapi skenario bahwa produk-produk India akan dikenai pajak CBAM 20%-35% yang tinggi di Uni Eropa dan produk-produk mereka akan masuk ke India tanpa bea," kata Ajay Srivastava, Pendiri Global Trade Research Initiative (GTRI), sebuah lembaga pemikir yang berbasis di New Delhi.
Uni Eropa merupakan tujuan ekspor terbesar kedua India dengan total ekspor hampir US$100 miliar (Rp 1.629 triliun) pada 2023.
Ajay Seth mengatakan India ingin Uni Eropa mematuhi aturan emisi karbon yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015, yang memungkinkan negara-negara berkembang seperti India memiliki target pemotongan emisi yang lebih fleksibel dibandingkan dengan negara-negara maju.
India, dengan intensitas karbon 632 gram per KWh pada 2022, menurut lembaga pemikir Ember, tengah memperluas kapasitas terbarukannya dan telah mengurangi intensitas karbonnya sebesar 3,5% sejak 2018. Negara ini bertujuan untuk mencapai nol emisi pada 2070.
"Saat ini, kami memiliki sekitar 170 atau 180 gigawatt energi terbarukan, tetapi itu tidak tersedia pada malam hari," kata Ajay Seth, seraya mencatat tantangan dalam memproduksi ekspor yang lebih ramah lingkungan hanya untuk pasar Uni Eropa.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.