Nikel sangat penting dalam transisi global menuju energi ramah lingkungan, namun penambangan sering kali disertai dengan tantangan lingkungan seperti yang baru-baru ini terjadi pada pertambangan di Indonesia.
Menurut laporan terbaru dari lembaga keuangan internasional Bank Dunia, pasokan nikel tahunan harus meningkat sebesar 208% pada 2050 dan pasokan tembaga tahunan sebesar 156% dibandingkan dengan tingkat produksi pada 2020, jika target nol emisi global ingin tercapai.
Setidaknya 15 mineral dan logam lainnya harus diekstraksi dengan kecepatan yang sama untuk mencapai target iklim.
Ini akan menjadi tugas yang sangat besar. Beberapa analis berpendapat hal itu tidak mungkin dilakukan. Pihak lain mempertanyakan apakah pemenuhan permintaan mineral penting tersebut dapat dilakukan secara berkelanjutan.
"Saat kita membentuk kembali cara kita memberdayakan masyarakat dan perekonomian, kita tidak dapat mengganti satu industri ekstraktif yang eksploitatif dan kotor dengan industri ekstraktif lain yang eksploitatif dan kotor. Perlombaan menuju nol emisi tidak bisa menginjak-injak rakyat miskin,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Perundang-undangan Uni Eropa mendukung tujuan ini. Petunjuk Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan yang baru-baru ini disetujui berarti bahwa, mulai 2029, perusahaan-perusahaan Eropa harus membuktikan mereka mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan dan hak asasi manusia di seluruh rantai pasokan mereka.
“Regulasi dan peraturan yang berasal dari Brussel sehubungan dengan Kesepakatan Hijau Uni Eropa berlaku sama bagi bisnis Eropa dan bisnis asing yang ingin menjual barang atau jasa di Uni Eropa,” kata Direktur Eksekutif Dewan Bisnis UE-ASEAN Chris Humphrey.
Menurut Chris, karena peraturan yang diberlakukan oleh regulator di Eropa, perusahaan-perusahaan di Eropa kini perlu memastikan bahwa operasi mereka di luar negeri mematuhi berbagai persyaratan pelaporan yang dikeluarkan dari Brussels dan negara lain.
Perusahaan-perusahaan Uni Eropa mundur dari tambang Indonesia
Pada bulan Juli, BASF dari Jerman dan Eramet dari Prancis menarik diri dari kilang nikel dan kobalt Sonic Bay senilai US$2,6 miliar atau 2,4 miliar euro (Rp 42 triliun) di Indonesia di tengah kritik bahwa tambang yang memasok kilang tersebut mengancam hutan yang merupakan rumah bagi suku pribumi yang terisolasi.
Kesepakatan ini akan meningkatkan penambangan logam-logam tersebut secara signifikan dari tambang Weda Bay Nickel yang berada di dekatnya.
Tambang tersebut merupakan tambang nikel terbesar di dunia dan bagian dari Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di mana Eramet memegang saham minoritas.
Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (AS), Indonesia pada 2022 memproduksi hampir setengah nikel dunia, yang banyak digunakan dalam kendaraan listrik dan baterai.
Diadopsi pada bulan April oleh Dewan Uni Eropa, Undang-Undang Bahan Baku Kritis mencantumkan 34 mineral kritikal dan 17 mineral strategis, termasuk nikel, yang penting untuk transisi ramah lingkungan.
Undang-undang tersebut memudahkan Uni Eropa untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan melalui kesepakatan dengan negara ketiga yang bersahabat.
Penambangan nikel terbuka dilaporkan menjadi penyebab utama deforestasi di Indonesia dan penggunaan batu bara untuk menggerakkan pabrik peleburan nikel telah mencemari air.
Perusahaan-perusahaan Uni Eropa menyebutkan alasan komersial untuk tidak berpartisipasi dalam usaha tersebut, namun juru bicara BASF menyatakan bahwa BASF membutuhkan pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.
“Meskipun pembatalan proyek Sonic Bay dapat mengurangi polusi bagi masyarakat lokal, pemerintah Indonesia harus berbuat lebih banyak untuk meminimalkan dampak penambangan dan pemurnian nikel terhadap masyarakat yang tinggal di dekat IWIP dan kawasan industri nikel lainnya,” tulis peneliti dari kelompok kampanye Climate Rights International Krista Shennum kepada The Diplomat bulan ini.
Batasan Kesepakatan Hijau Uni Eropa
Meskipun sebagian besar perusahaan Uni Eropa tidak melakukan praktik-praktik yang tidak ramah lingkungan dalam menambang bahan mentah di Asia, Peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura Frederick Kliem mengatakan hal tersebut tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan dari negara-negara seperti Tiongkok tidak bersedia melakukannya.
Frederick mengatakan Kesepakatan Hijau Uni Eropa sebagian besar dimungkinkan oleh pihak ketiga yang bersedia mensubsidi industri mereka dan melakukan kerusakan lingkungan dan sosial untuk memungkinkan transisi energi di dalam negeri dan di tempat lain.
“Ini adalah teka-teki yang belum bisa kami selesaikan,” ujar Frederick, dikutip dari Deutsche Welle, Selasa (16/7).
Tuduhan serupa juga dilontarkan terhadap tarif yang baru-baru ini dikenakan Uni Eropa terhadap kendaraan listrik buatan Tiongkok, yang diakibatkan oleh keluhan dari Brussel mengenai praktik perdagangan yang tidak adil.
“Uni Eropa mengeluhkan adanya dumping sel surya, turbin angin, dan kendaraan listrik oleh Tiongkok, namun pada saat yang sama, mereka juga merayakan rendahnya harga listrik yang dihasilkan oleh PV surya, yang secara eksklusif merupakan hasil produksi skala besar Tiongkok yang dibarengi dengan subsidi,” kata Frederick.
Menurut Frederick, transisi energi dan elektrifikasi perekonomian tidak akan mungkin terjadi tanpa produk-produk Tiongkok tersebut.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo telah berupaya mengubah Indonesia menjadi pusat produksi baterai kendaraan listrik (EV) global dengan meningkatkan kapasitas pertambangan nasional, khususnya nikel.
Pelarangan ekspor memastikan nikel harus diproses di dalam negeri. Pada 2014, pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel yang belum diolah.
Sejak saat itu, Tiongkok dilaporkan telah menginvestasikan lebih dari US$30 miliar (Rp 486 triliun) ke dalam rantai pasokan nikel Indonesia, termasuk peleburan dan produksi baterai kendaraan listrik.
Indonesia kehabisan nikel bermutu tinggi
Indonesia kehabisan cadangan nikel kadar tinggi dan hanya menyisakan bijih nikel kadar rendah yang hanya mengandung sedikit nikel sehingga menyulitkan ekstraksi.
Salah satu cara untuk melakukan ekstraksi adalah melalui pencucian asam bertekanan tinggi, atau HPAL, yang menghasilkan banyak limbah beracun.
Analis yang berbasis di Jakarta dari konsultan risiko politik Reformasi Information Services, Kevin O'Rourke, mengatakan ada alternatif lain yang menjanjikan selain HPAL.
Namun, alternatif lain tersebut ditolak oleh regulator lokal di Indonesia. Regulator lokal tetap bersikeras menggunakan pemrosesan HPAL karena lebih murah dan lazim bagi mereka.
“Jika pasar negara maju seperti Uni Eropa membatasi impor nikel kotor, akan ada insentif bagi pengembang yang bertanggung jawab untuk memasok bahan yang diproduksi secara lebih etis. Ketika produsen Indonesia terbukti tidak mampu menembus pasar negara maju yang menguntungkan di negara-negara Barat, mereka mungkin akan mulai memilih untuk membatasi atau menghindari emisi dan limbah dari HPAL,” kata Kevin.
Menurut Peneliti kehormatan di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia Bridget Welsh, target Uni Eropa seharusnya adalah membuat pekerjaan kotor tidak terlalu kotor secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia menyetujui Kemitraan Keamanan Mineral dengan 14 negara dan Uni Eropa untuk mempercepat pengembangan rantai pasokan mineral penting yang berkelanjutan, dengan fokus pada peningkatan standar lingkungan.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.