Apakah Anda akan mempertimbangkan jejak karbon, praktik ketenagakerjaan, dan keragaman kepemimpinan suatu perusahaan sebelum membeli sahamnya?
Investor institusi sering kali mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) sebelum menaruh uang mereka di perusahaan. Namun, motivasi untuk melakukan hal tersebut mungkin berbeda bagi investor ritel.
“Konsumen berinvestasi dalam keberlanjutan berdasarkan kesadaran dan tindakan sukarela, sedangkan institusi melakukan hal ini terutama demi kepatuhan terhadap peraturan, dan terkadang untuk mencapai tujuan strategi bisnis,” kata Jigar Shah, kepala penelitian keberlanjutan di Maybank Investment Banking Group.
Kepala Manajemen Kekayaan Grup OCBC Tan Siew Lee memiliki pandangan serupa. “Bagi konsumen, berinvestasi dalam keberlanjutan seringkali berasal dari nilai-nilai pribadi atau keinginan untuk keberlanjutan finansial jangka panjang,” ujar Tan Siew.
Institusi harus mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam operasi inti mereka berdasarkan standar industri dan ekspektasi pasar.
Topik investasi berkelanjutan mendapat perhatian ketika Temasek yang merupakan investor negara Singapura meluncurkan laporan keberlanjutan pertamanya minggu lalu, yang mengungkapkan portofolio “kehidupan berkelanjutan” senilai S$44 miliar atau US$32,7 miliar (Rp 528 triliun).
Nilai portofolio bersih Temasek mencapai S$389 miliar (Rp 4.691 triliun) pada 31 Maret tahun ini.
Dulu orang berpikir bahwa investasi yang bertanggung jawab secara sosial berarti mengorbankan keuntungan. Namun, perusahaan yang sadar sosial juga bisa mendapatkan keuntungan.
Menurut Kepala Perencanaan Keuangan, Asuransi dan Investasi di DBS Bank Ling Seng Chuan, komunitas investor menyadari hal tersebut.
Kepala Global Keuangan Berkelanjutan, Kekayaan dan Perbankan Ritel di Standard Chartered Eugenia Koh mengatakan semakin masuk akal bagi konsumen untuk melihat investasi berkelanjutan.
“Ini membantu mereka meningkatkan manajemen risiko dan peluang yang memanfaatkan tren struktural jangka panjang,” kata Eugenia.
Misalnya, perusahaan mungkin terkena dampak cuaca ekstrem, peraturan yang berkembang, atau pemberlakuan pajak karbon.
Menurut Eugenia, mempertimbangkan faktor lingkungan ketika berinvestasi menjadi semakin penting bahkan bagi investor ritel.
Tan Siew mengatakan perusahaan cenderung lebih tangguh jika dijalankan secara bertanggung jawab, siap menghadapi tantangan masa depan dan mempertimbangkan risiko dan peluang yang muncul.
Seiring dengan semakin banyaknya negara yang mengembangkan peraturan, dana kemungkinan besar akan beralih ke perusahaan-perusahaan yang memiliki pengungkapan (disclosure) yang kuat mengenai keberlanjutan.
Menurut Kepala ESG di Phillip Capital Management Stephen Beng, berinvestasi secara berkelanjutan tidak bisa dihindari bagi dunia usaha, industri, dan pemerintah.
“Tetapi yang paling penting adalah apa yang dibutuhkan oleh planet bumi kita jika kita ingin terus memperoleh banyak manfaat dari jasa ekosistem yang disediakan oleh alam kita," ujar Stephen, dikutip dari CNA, Rabu (17/7).
Bagi konsumen yang ingin membangun portofolio investasi berkelanjutan, Ling Seng mengatakan mereka harus melakukan penelitian sendiri dan memutuskan isu apa yang paling penting bagi mereka.
Beberapa pertanyaan yang perlu dipertimbangkan mencakup besarnya jejak karbon perusahaan, apakah perusahaan menggunakan sumber energi terbarukan atau ramah lingkungan, dan apakah pekerjanya dibayar secara adil.
Faktor lain seperti penunjukan anggota dewan dan hak pemegang saham minoritas mungkin juga relevan.
“Penting untuk diketahui bahwa perusahaan, bahkan perusahaan yang paling bertanggung jawab secara sosial, kemungkinan besar tidak akan memenuhi seluruh persyaratan,” kata Ling Seng, seraya menambahkan bahwa mungkin ada kasus pelaporan yang salah.