Kompor gas merupakan salah satu sumber utama polusi dalam ruangan di rumah-rumah modern, terutama yang memiliki ventilasi terbatas, karena memasak menggunakan bahan bakar gas yang mudah terbakar.
Ketika berbicara tentang polusi udara, orang biasanya lebih memperhatikan polutan dan kabut asap di luar ruangan.
"Namun, jangan lupa bahwa kita menghabiskan sebagian besar waktu kita di dalam ruangan. Jadi kualitas udara di dalam ruangan mungkin lebih penting daripada kualitas udara di luar ruangan," kata ilmuwan kualitas udara Rajasekhar Balasubramanian (Prof Bala), dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Nasional Singapura.
Di Singapura, kompor gas umumnya menggunakan bahan bakar dari gas kota yang disalurkan melalui pipa dan tabung LPG. City Energy sebagai pemasok gas kota, yang terdiri dari metana dan hidrogen, menyalurkannya ke lebih dari 900.000 rumah dan bisnis.
"Gas-gas - seperti gas alam, metana dan propana - mengandung karbon, dan proses pembakarannya jarang sekali sempurna. Pembakaran yang tidak sempurna dapat menghasilkan karbon monoksida, dan gas lain yang dihasilkan bersamaan dengan itu adalah nitrogen dioksida (NO2). NO2 dapat dihasilkan selama proses pembakaran dengan adanya nitrogen di udara," ujar Prof Bala.
Baru-baru ini, untuk alasan kesehatan dan iklim, tempat-tempat seperti Oxford di Inggris, Victoria di Australia, dan New York telah mengumumkan atau menerapkan larangan penggunaan kompor gas dan sambungannya di gedung-gedung baru.
Prof Bala mengatakan bahwa polusi dari kompor gas dapat menjadi masalah di rumah-rumah dengan ventilasi yang terbatas dan dapur yang kecil, di mana polutan dapat menumpuk.
Selama bertahun-tahun, ia meneliti pelepasan partikel ultrafine dari kompor - yang berukuran jauh lebih kecil daripada polutan PM2.5 dari kabut asap.
Polutan kecil dari pembakaran yang dapat berukuran skala nano ini bisa menyebabkan peradangan paru-paru dan tertahan lebih lama di dalam paru-paru dibandingkan dengan PM2.5.
Partikel ultrafine dapat menyebabkan kanker paru-paru dalam jangka panjang dan bahkan dapat menjalar hingga ke otak, mempengaruhi sistem saraf.
Durasi dan tipe memasak juga penting. Dalam sebuah percobaan di dapur tahun 2005, Prof Bala menemukan bahwa menggoreng dengan minyak panas menghasilkan 24 kali lebih banyak partikel ultrafine dibandingkan dengan dapur yang tidak digunakan untuk memasak.
Badan Lingkungan Nasional (NEA) Singapura menyebutkan sebagian besar rumah tangga di Singapura sudah memasak di lingkungan yang berventilasi alami.
Simply Science, sebuah platform pengalaman belajar (LXP), mengungkap dampak kesehatan dan iklim dari penggunaan kompor gas dibandingkan dengan kompor listrik.
Pernahkah melihat adegan film tentang seseorang yang tewas di dalam rumah karena tidak sengaja membiarkan kompor gas terus menyala? Itu adalah ulah karbon monoksida.
Studi terbaru dari Universitas Stanford menemukan bahwa sekitar 50.000 kasus asma pada anak di Amerika Serikat (AS) berkaitan dengan paparan jangka panjang terhadap nitrogen dioksida dari kompor gas dan propana.
Presiden Asosiasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis Singapura, Dr. Ong Kian Chung, mengatakan asap dari kompor gas dapat mempengaruhi siapa saja, tergantung pada tingkat polusi, seberapa beracun zat-zat penyebab iritasi, dan toleransi setiap orang.
Gejala-gejala seperti bersin, batuk, dan iritasi mata saat terpapar asap dari penggorengan, misalnya, merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh dan untuk memperingatkan seseorang agar mengurangi kontak dengan bahan-bahan penyebab iritasi.
"Orang yang memiliki alergi cenderung lebih menderita akibat dampak polusi udara karena konstitusi tubuh mereka lebih sensitif," ujar Dr. Ong, dikutip dari The Straits Times, Senin (17/6).
Bekerja sebagai dokter spesialis pernapasan di klinik Chestmed di Mount Elizabeth Medical Centre, Dr. Ong sering menjumpai pasien dengan penyakit paru-paru atau asma dengan gejala yang semakin parah ketika mereka lebih sering memasak.
NEA mengklaim terus memantau literatur ilmiah dan perkembangan internasional tentang dampak kesehatan dari kompor gas. Intinya, kompor listrik lebih sehat daripada kompor gas. Namun dalam hal seberapa hijau, masih belum pasti di Singapura.
NEA mencatat bahwa kompor listrik atau kompor induksi umumnya lebih hemat energi dan lebih sedikit menghasilkan karbon dibandingkan dengan kompor gas.
City Energy mengatakan dalam studinya untuk Otoritas Pasar Energi di tahun 2023 menemukan bahwa gas kota menghasilkan emisi karbon hingga 47% lebih sedikit - per kilogram karbon dioksida (CO2) per kilowatt-jam - dibandingkan dengan listrik. Hal ini disebabkan oleh kehilangan energi yang minimal selama produksi gas kota.
"Meskipun gas kota sendiri memiliki faktor emisi karbon yang lebih rendah, namun ada juga kebutuhan untuk mempertimbangkan efisiensi konversi energi menjadi panas untuk memasak. Pembakaran metana juga melepaskan CO2 ke atmosfer," kata Presiden Dewan Bangunan Hijau Singapura Lee Ang Seng, mengomentari hasil studi tersebut.
Menurut Prof Bala, produk akhir dari pembakaran bahan bakar yang mengandung karbon adalah CO2 yang dapat menyebabkan pemanasan bumi.
Hasil penelitian Universitas Stanford memaparkan bahwa kompor gas tetap mengeluarkan metana - gas rumah kaca yang lebih kuat - bahkan ketika kompor gas tidak dinyalakan.
Menurut studi tahun 2022, metana yang bocor dari kompor di rumah-rumah di Amerika Serikat memiliki dampak iklim yang sama dengan sekitar 500.000 mobil berbahan bakar bensin.
Dalam upaya mendorong penghapusan kompor gas di gedung-gedung baru, sejak November 2023, Otoritas Bangunan dan Konstruksi (BCA) merevisi skema sertifikasi Green Mark 2021 untuk mendorong adopsi kompor induksi yang ramah lingkungan secara luas.
Terdapat kriteria minimum yang harus dipenuhi oleh sebuah gedung untuk mendapatkan sertifikasi Green Mark 2021, yaitu penghematan energi minimal 50% berdasarkan peraturan bangunan tahun 2005 dan 30 poin dari lima bagian keberlanjutan.
Otoritas tersebut menyatakan bahwa insentif tersebut akan mendorong pengembang dan pemilik bangunan dalam transisi mereka menuju elektrifikasi.
Namun, masih belum jelas seberapa jauh kompor listrik lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan kompor gas di Singapura saat ini, mengingat sekitar 95 persen listrik Singapura berasal dari pembakaran gas alam, bahan bakar fosil yang paling bersih.
"Dalam kedua kasus tersebut, kita membakar gas. Namun dalam kasus kompor listrik, pembakaran tersebut terjadi di pembangkit listrik di sumber yang jauh. Ketika Anda memiliki lebih banyak kompor listrik yang beroperasi, permintaan listrik akan meningkat," kata Prof Bala.
Menurut Lee, kompor listrik secara tidak langsung dapat berkontribusi terhadap emisi karbon melalui pembangkit dan transmisi listrik jika bahan bakar fosil digunakan.
Bagi konsumen, kompor listrik mungkin lebih mahal daripada kompor gas. Kompor gas juga lebih sering digunakan dalam masakan Asia, terutama untuk tujuan wok hei - teknik tumisan Tiongkok untuk menciptakan aroma makanan.
Prof Bala mengatakan bahwa rumah-rumah seharusnya memiliki kipas angin yang dapat berosilasi atau pembersih udara portabel di dapur untuk mengurangi paparan polutan udara.
"Penting untuk memastikan ventilasi yang baik saat memasak dengan kompor gas, seperti dengan menggunakan tudung asap untuk membuang asap, atau dengan membuka jendela. Hal ini akan membantu meminimalkan penumpukan polutan," ungkap NEA.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.