Katadata Green
Banner

Cuaca Ekstrem Hantam Sekolah-Sekolah di Filipina

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 14 Juni 2024, 14.43

Hanya beberapa minggu setelah ribuan siswa Filipina dipulangkan dari ruang kelas yang terik akibat gelombang panas yang brutal, sekolah-sekolah di negara tersebut bersiap menghadapi tantangan perubahan iklim baru menjelang dimulainya musim angin topan di Asia Tenggara.

Sekolah-sekolah ditutup selama beberapa hari saat suhu udara melonjak hingga lebih dari 40 derajat Celcius pada April dan Mei.

Sekolah-sekolah tersebut akan dibuka kembali setelah liburan di bulan Juli, dan bukannya Agustus, karena pihak berwenang menyusun ulang kalender pendidikan untuk beradaptasi dengan cuaca ekstrem.

Ancaman langsung datang dari badai karena musim topan dimulai Juli. Di masa lalu, sekolah-sekolah harus menangguhkan pelajaran dan memulangkan murid-muridnya karena ruang kelas terendam banjir. Sekolah juga sering digunakan sebagai pusat evakuasi sementara.

Biro cuaca mengatakan bahwa Filipina kemungkinan akan mengalami lebih banyak topan tropis di 2024 dibandingkan tahun lalu karena potensi kembalinya fenomena cuaca La Nina antara bulan Juni dan Agustus.

Setelah kondisi ekstrem yang disebabkan oleh El Nino di seluruh dunia tahun ini, ramalan cuaca sekarang memprediksi peralihan ke kondisi La Nina yang umumnya lebih sejuk dalam beberapa bulan mendatang, dengan risiko banjir dan kekeringan yang lebih besar.

Para ahli meteorologi di Filipina memprediksi topan yang lebih kuat dan lebih merusak akibat perubahan iklim.

Ini merupakan kabar buruk bagi 47.000 sekolah negeri di Filipina. Selain potensi kerusakan pada bangunan fisik, ada kekhawatiran bahwa cuaca ekstrem akan memperdalam kesenjangan pendidikan karena ketika para siswa dipulangkan dan dipaksa untuk mengandalkan pembelajaran online, siswa yang paling tidak mampu akan sangat menderita.

"Sangat sulit ketika kelas diliburkan karena bencana dan kami tidak dapat memahami pelajaran dengan baik di rumah," kata Prince Rivera, 15 tahun, siswa di SMA Nasional Bulihan di provinsi Bulacan, dekat ibukota Manila.

Sekolah Prince telah beberapa kali kebanjiran dan dia juga dipulangkan ke rumah selama gelombang panas baru-baru ini.

Penasihat Pendidikan Dasar di Save the Children Filipina, Xerxes de Castro, mengatakan kesadaran akan risiko iklim merupakan langkah awal untuk membuat sekolah menjadi tangguh menghadapi bencana di masa depan.

"Saya rasa saat ini adalah waktu yang tepat bagi sekolah, siswa dan semua pemangku kepentingan untuk belajar tentang dampak perubahan iklim. Ini adalah pelajaran yang berat," ujarnya.

Filipina, yang menduduki peringkat teratas dalam Indeks Risiko Dunia di 2022 dan 2023. Sebagai negara paling rawan bencana di dunia, Filipina dilanda topan sekitar 20 kali dalam setahun.

Antara 2021 dan 2023, berbagai bencana merusak sekitar 4.000 sekolah, sehingga mengganggu proses belajar mengajar dua juta siswa.

Otoritas pendidikan telah memanfaatkan teknologi untuk membantu menghadapi cuaca ekstrem dan bencana alam terkait perubahan iklim.

Salah satu alat yang digunakan adalah aplikasi seluler dan web Rapid Assessment of Damages Report (RADaR), yang kini digunakan oleh para guru untuk memberikan informasi terbaru dengan cepat ketika sekolah mereka dilanda bencana.

RADaR diluncurkan oleh Departemen Pendidikan berkolaborasi dengan Save the Children dan yayasan amal Prudence Foundation. Aplikasi ini melaporkan enam jenis bencana alam yang berbeda, termasuk badai dan topan.

"Sejak diluncurkan secara nasional pada September 2021, lebih dari 30.000 sekolah telah menggunakan RADaR saat menghadapi 28 peristiwa bencana," kata Manajer Mitigasi Risiko dan Ketahanan Iklim untuk Save the Children Filipina, Marlon Matuguina, dikutip dari The Straits Times pada Rabu (12/6).

Pemantauan gelombang panas belum masuk ke aplikasi tersebut karena dampak dari cuaca panas yang ekstrim lebih sulit untuk diukur.

Data dari aplikasi ini menunjukkan bahwa gempa bumi adalah bahaya yang paling sering dialami oleh sekolah-sekolah, sementara badai tropis menerima jumlah laporan tertinggi karena kerusakan yang ditimbulkan.

Menurut Save the Children, sejauh ini RADaR telah menghasilkan lebih dari 154.000 laporan di tingkat sekolah yang memberikan wawasan baru tentang kerentanan sektor pendidikan terhadap bahaya.

Guru Shago Dela Cruz adalah koordinator bencana di sekolah Prince. Sebelum aplikasi RADaR diperkenalkan, ia mengatakan bahwa pelaporan bencana berjalan lambat, namun sekarang aplikasi ini memungkinkannya untuk memantau dan merekam bencana secara online melalui CCTV di sekolahnya.

"Para guru tidak perlu datang ke sekolah setelah terjadi bencana dan menghadapi risikonya," ujarnya.

Mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana adalah kunci. Departemen Pendidikan Filipina berencana untuk berinvestasi dalam sistem insulasi, peneduh dan ventilasi.

Mereka berharap langkah-langkah ini akan memungkinkan para siswa untuk tetap berada di sekolah selama cuaca panas.

Departemen Pendidikan telah menerima 17 miliar peso (Rp 4,7 triliun) atau US$391,3 juta dari anggaran nasional tahun ini untuk membangun ruang kelas yang dapat menahan suhu yang lebih tinggi.

Bank Dunia telah menyetujui pinjaman sebesar 30 miliar peso (Rp 8,4 triliun) untuk membantu negara ini menangani bencana dan ancaman iklim dengan lebih baik, dengan fokus khusus pada sekolah dan rumah sakit.

Pemerintah Filipina mengatakan dana tersebut akan digunakan untuk membangun kembali sekolah-sekolah yang rusak akibat bencana alam di luar ibukota.

Proyek ini akan berlangsung dari tahun 2025 hingga 2029 dan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lebih dari 13.000 ruang kelas dan sekitar 740.000 siswa, yang bangunannya rusak akibat bencana antara tahun 2019 dan 2023.

Bagi Save the Children, pesannya jelas: Negara-negara yang rentan membutuhkan lebih banyak dukungan untuk menopang layanan-layanan penting, seperti sekolah, di dunia yang semakin panas dan basah. Perubahan yang diperlukan tidak hanya berdampak pada batu bata dan mortir.

"Ketahanan adalah masalah yang kompleks. Kami tidak hanya berbicara tentang pekerjaan infrastruktur, tetapi juga tentang memastikan bahwa para guru dan siswa dapat mengatasi segala jenis bencana yang dapat terjadi di masa depan," kata Xerxes.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.