Dalam beberapa bulan terakhir, kita sering mendengar atau membaca peringatan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengenai cuaca ekstrem yang berpotensi terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Apa sebenarnya pengertian dari cuaca ekstrem? Berikut ini penjelasannya.
BMKG menyatakan cuaca ekstrem adalah kejadian fenomena alam yang tidak normal dan tidak lazim yang ditandai dengan kondisi curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu udara, kelembapan udara, dan jarak pandang yang dapat mengakibatkan kerugian, khususnya terhadap keselamatan jiwa dan harta.
Cuaca ekstrem seperti hujan deras, badai, angin puting beliung, maupun gelombang panas berpotensi menimbulkan bencana. Meskipun tidak semua kejadian cuaca ekstrem dapat menimbulkan bencana, masyarakat tetap perlu waspada terhadap dampak cuaca ekstrem.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023 terdapat 1.261 kejadian cuaca ekstrem di Indonesia. Jumlah kejadian ini meningkat 18,07% dibandingkan tahun 2022 sebanyak 1.068 kejadian.
BMKG menyebut ada dua faktor yang sering menyebabkan cuaca ekstrem di Indonesia. Faktor pertama adalah puncak musim penghujan. Faktor kedua adalah aktivitas dinamika atmosfer di mana Indonesia menjadi daerah pertemuan air dan memiliki penguatan yang kuat.
Di luar itu, ada faktor monsun Asia yakni angin yang berhembus secara periodik dari Benua Asia menuju Benua Australia yang melewati Indonesia. Kemudian, ada faktor menghangatnya suhu permukaan air laut di Indonesia dan sekitarnya yang memicu kondensasi menjadi awan hujan dan fenomena gelombang atmosfer. Gelombang atmosfer ini dapat meningkatkan potensi udara basah di sejumlah wilayah di Indonesia yang kemudian menyebabkan hujan dan cuaca ekstrem.
Beberapa studi menyebut intensitas cuaca ekstrem juga dipengaruhi oleh pemanasan global. Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi (BRIN) Didi Satiadi dalam Bincang Sains "Waspada Cuaca Ekstrem" pada Desember 2022 menyebut efek gas rumah kaca menyebabkan siklus hidrologi berputar lebih cepat.
"Mesinnya cuaca adalah matahari, pemanasan. Kalau pemanasan ini bertambah karena gas rumah kaca tadi, siklus hidrologi yang seperti rantai tadi akan berputar lebih cepat," kata Didi. Artinya, gas rumah kaca akan mempercepat terjadinya penguapan sehingga pembentukan awan lebih banyak, hujan lebih deras, tetapi di beberapa wilayah hal ini menyebabkan iklim yang lebih kering.
Didi mengatakan cuaca ekstrem sebenarnya adalah fenomena yang normal. Namun, fenomena ini cenderung meningkat intensitasnya akibat perbuatan manusia. Yang pertama adalah pemanasan global. "Pembakaran bahan bakar fosil yang berlebih membuat perubahan iklim, ini pada dasarnya meningkatkan siklus hidrologi," ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa perubahan tata guna lahan di perkotaan juga mengurangi kualitas lingkungan. Alhasil, kondisi ini meningkatkan cuaca ekstrem dan potensi bencana.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.