Beberapa negara besar di dunia ingin merampungkan rencana menghentikan pendanaan baru dari sektor swasta untuk proyek-proyek batu bara sebelum pertemuan iklim PBB tahun ini.
Jika disetujui, proposal dari Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tersebut akan menjadi langkah pertama dari sebuah lembaga multilateral untuk menghentikan pendanaan batu bara.
Batu bara menjadi salah satu penyebab terbesar perubahan iklim, yang menghasilkan lebih banyak emisi karbon dioksida dibandingkan minyak atau gas ketika dibakar untuk menghasilkan energi.
Rancangan rencana tersebut, yang bertujuan untuk menetapkan kebijakan standar emas tentang bagaimana lembaga-lembaga keuangan menangani batu bara, menginstruksikan para investor, bank dan perusahaan asuransi untuk menghentikan pembiayaan baru untuk proyek-proyek batu bara yang sudah ada atau yang sedang direncanakan, dan penghentian pembiayaan untuk perusahaan-perusahaan yang membangun infrastruktur batu bara, demikian ungkap lima sumber yang mengetahui secara langsung tentang hal ini, dikutip dari Reuters pada Jumat (7/6).
Dengan adanya rencana tersebut, lembaga-lembaga keuangan akan mendanai penutupan dini pembangkit listrik tenaga batu bara, dan bukannya melakukan divestasi dari aset-aset tersebut.
Penutupan dini pembangkit listrik tenaga batu bara harus diimbangi dengan pembiayaan energi bersih untuk menggantikan kapasitas batu bara yang hilang.
Berdasarkan laporan yang dirilis LSM Urgewald bulan lalu, pinjaman dan penjaminan bank-bank komersial kepada industri batu bara mencapai US$470 miliar (Rp 7.658 triliun) antara Januari 2021 dan Desember 2023.
Negara-negara OECD - 38 negara anggota, termasuk sebagian besar negara demokrasi terbesar di dunia yang berfokus pada pasar - sedang mempersiapkan umpan balik soal proposal tersebut.
Proposal tersebut akan dipublikasikan untuk konsultasi publik sebelum diadopsi secara resmi menjelang KTT iklim PBB COP29 di Azerbaijan pada bulan November.
Kebijakan OECD ini tidak mengikat, namun bertujuan untuk menetapkan standar internasional yang digunakan oleh dewan direksi dan pemegang saham perusahaan.
Pedoman OECD sebelumnya - misalnya, tentang pekerja anak - telah diadopsi oleh beberapa perusahaan multinasional, menetapkan standar untuk berurusan dengan negara-negara yang tidak memiliki undang-undang pekerja anak yang formal.
Prancis, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa termasuk di antara para pendukung proposal tersebut, yang merupakan bagian dari inisiatif ‘Akselerator Transisi Batu Bara’ yang digagas oleh Prancis pada KTT iklim PBB COP28 tahun lalu.
Proyek tersebut, yang juga berfokus pada pengurangan biaya modal untuk investasi energi bersih, didukung oleh emerging economies yang bergantung pada batu bara, termasuk Indonesia dan Vietnam.
Indonesia dan Vietnam telah menandatangani kesepakatan bernilai miliaran dolar dengan negara-negara donor untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Menurut tiga sumber yang mengetahui secara langsung tentang rencana tersebut, penolakan terbesar terhadap proposal OECD datang dari Jepang.
Jepang adalah pengimpor batu bara terbesar ketiga di dunia dan mendapatkan lebih dari seperempat energinya dari batu bara.
Para anggota OECD menyetujui pedoman baru ini melalui konsensus. Belum ada tanggapan dari Kementerian ekonomi, perdagangan dan industri Jepang.
Beberapa sumber mengatakan bahwa proposal tersebut masih bisa dipermudah, berpotensi untuk menghentikan pembiayaan proyek tetapi tidak untuk pinjaman tujuan korporat, atau bisa juga menargetkan investasi pada pembangkit listrik dan bukan pada semua infrastruktur batu bara.
Para pemimpin negara-negara G7 - di antaranya Perancis, AS dan Jepang - diperkirakan akan memperdebatkan upaya penghentian penggunaan batu bara dalam pertemuan di Italia minggu depan. Dua sumber mengatakan bahwa hasil dari KTT G7 tersebut dapat mempengaruhi tujuan dari kesepakatan OECD.
Pemerintah negara-negara, termasuk G7, telah melarang atau membatasi pendanaan publik untuk pembangkit listrik tenaga batu bara karena mereka berusaha untuk memenuhi target iklim.
Oleh sebab itu, sebagian besar pendanaan batu bara saat ini berasal dari sektor swasta.
Menurut S&P Global, hanya seperempat lembaga keuangan yang saat ini memiliki kebijakan untuk membatasi pembiayaan batu bara.
Kapasitas listrik tenaga batu bara global mencapai lebih dari 2.000 gigawatt, dengan kapasitas baru sebesar 500 gigawatt dalam pengembangan, sebagian besar di Tiongkok.
Pemilik proyek batu bara dapat menghadapi masalah ekonomi yang kompleks untuk melakukan penutupan dini pembangkit listriknya.
Bagi emerging economies dengan pembangkit listrik batu bara yang masih belum lama dibangun, seperti India dan Vietnam, penutupan dini dapat menjadi hal yang rumit jika investasi awal yang diperlukan untuk membangun pembangkit hanya akan terbayar kembali selama masa pakai pembangkit tersebut, yang biasanya sekitar 40-50 tahun.
Emerging economies adalah negara-negara dengan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan dengan IPM yang membaik.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.