Banner

Jepang Pilih Tenaga Nuklir untuk Ketahanan Energi, Nol Emisi

freepik/vwalakte
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 5 Juni 2024, 17.18

Jepang akan mendorong lebih banyak tenaga nuklir dalam pembaruan kebijakan energi yang akan dilakukan tahun depan.

Menurut para pakar industri, Jepang mencari pasokan listrik yang stabil dalam menghadapi permintaan yang terus meningkat dan risiko geopolitik yang juga meningkat, tetapi kemungkinan akan kesulitan untuk memenuhi targetnya.

Jepang mengurangi ketergantungan pada tenaga nuklir setelah bencana Fukushima pada 2011 dan meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan 70% listriknya, bahkan ketika negara tersebut bertekad untuk mengurangi emisi karbon menjadi nol di tahun 2050.

Namun, setelah menghadapi lonjakan harga batu bara dan gas serta gangguan pasokan pada 2022 akibat perang Rusia terhadap Ukraina, pemerintah menginginkan penggunaan energi nuklir yang lebih besar, bersama dengan tenaga angin dan surya, untuk mengamankan pasokan energi yang stabil.

“Fokusnya beralih dari emisi karbon ke ketahanan energi. Ketahanan energi selalu menjadi hal yang penting bagi Jepang, namun lebih penting lagi sekarang karena ada begitu banyak tantangan dengan kurangnya gas alam cair, LNG yang mahal, dan kurangnya pasokan,” ujar Wakil Presiden di Wood Mackenzie Alex Whitworth, dikutip dari Reuters pada Selasa (4/6).

Pergeseran untuk meningkatkan tenaga nuklir oleh importir LNG terbesar kedua di dunia dan pembeli utama batubara termal akan memukul para eksportir bahan bakar fosil tersebut, termasuk Australia, Qatar, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Diskusi mengenai kebijakan energi Jepang, yang direvisi setiap tiga tahun, dimulai bulan lalu. Ini adalah revisi pertama sejak Perdana Menteri Fumio Kishida mengubah pendirian Jepang untuk mendukung tenaga nuklir pada 2022.

“Mayoritas anggota panel yang memperdebatkan kebijakan tersebut adalah pro-nuklir, dan kebijakan baru mungkin akan mencakup pembangunan reaktor baru,” kata Presiden Universitas Internasional Jepang Takeo Kikkawa.

Masih belum jelas bagaimana target bauran energi 2030 sebesar 20%-22% nuklir akan berubah untuk tahun target berikutnya, kemungkinan 2040. Namun, perusahaan-perusahaan energi dan industri semakin menyerukan penggunaan tenaga nuklir yang lebih besar karena ketegangan geopolitik meningkatkan risiko gangguan pasokan energi dan kenaikan harga listrik.

“Kami mencari klarifikasi dalam rencana energi berikutnya untuk memaksimalkan penggunaan tenaga nuklir demi keamanan energi dan dekarbonisasi, dan tentang kebutuhan untuk mengganti dan membangun reaktor baru untuk memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat,” ujar Kansai Electric Power, operator energi nuklir terbesar di Jepang.

Pemerintah mengatakan bahwa Jepang mungkin harus meningkatkan output listrik hingga 50% pada 2050 seiring dengan meningkatnya permintaan dari pabrik-pabrik semikonduktor dan data center.

Menurut para akademisi dan analis energi, memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat dengan tenaga nuklir akan menjadi tantangan, karena rintangan peraturan, oposisi publik, biaya tinggi, gempa bumi yang parah, dan jangka waktu pengembangan yang panjang.

Takeo mengatakan Jepang kemungkinan besar akan gagal mencapai target 2030 untuk tenaga nuklir, hanya mencapai 15% karena penolakan dari penduduk setempat dan lambatnya persetujuan dari regulator untuk memulai kembali reaktor-reaktor yang sudah ada.

Menambah kapasitas nuklir baru bisa jadi sulit bahkan pada 2050, mengingat di masa lalu dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk membangun PLTN.

Menurut Alex, tenaga termal kemungkinan besar harus mengisi kesenjangan pasokan. Ini bertentangan dengan tujuan pemerintah untuk mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara dan LNG menjadi 39% dari total campuran pada 2030.

“Target tenaga nuklir adalah yang paling tidak realistis karena sebenarnya berada di luar kendali pemerintah untuk dapat mencapai target tersebut karena perlunya persetujuan penduduk setempat untuk memulai kembali. Jadi, ada peluang besar untuk batu bara dan gas,” ujarnya.

Saat merevisi kebijakan energi, Jepang berencana untuk menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca di tahun 2035 atau lebih lambat dan merumuskan strategi dekarbonisasi untuk tahun 2040 pada awal tahun depan.

Mempercepat pertumbuhan energi terbarukan dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil akan membantu mencapai tujuan-tujuan tersebut dan menurunkan harga.

“Perekonomian Jepang terpukul oleh harga bahan bakar fosil selama dua tahun terakhir,” kata profesor di Institute for Future Initiatives (IFI) Universitas Tokyo Yukari Takamura.

Yukari, seorang anggota panel kebijakan energi pemerintah, mengatakan Jepang harus membuat peta jalan tentang bagaimana menghapus pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak berkelanjutan.

“Ini kepentingan nasional untuk mempromosikan produksi energi dalam negeri dengan energi terbarukan,” ujarnya. Hal ini juga akan meningkatkan daya saing perusahaan-perusahaan Jepang yang diukur berdasarkan faktor dekarbonisasi.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.