Maskapai penerbangan dan perusahaan energi berselisih mengenai ketersediaan bahan bakar alternatif yang langka.
Para maskapai penerbangan mengakhiri pertemuan tahunan IATA dengan kesulitan menyeimbangkan antara permintaan yang hampir mencapai rekor dengan masalah rantai pasokan dan tekanan untuk memenuhi tujuan lingkungan.
Industri penerbangan berkomitmen untuk mengurangi emisi bersih hingga nol pada 2050. Sebagian besar melalui Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuels/SAF) yang berasal dari tanaman.
Namun, dengan pasokan bahan bakar penerbangan berkelanjutan saat ini yang hanya memenuhi 0,5% dari kebutuhan bahan bakar maskapai penerbangan, ketidaksepakatan muncul dalam pertemuan tahunan Asosiasi Transportasi Udara Internasional, yang dihadiri oleh perusahaan-perusahaan energi termasuk TotalEnergies dari Prancis.
“Laba bersih Total sebesar US$23,2 miliar (Rp 377 triliun) tahun lalu. Laba bersih seluruh industri penerbangan mencapai US$27 miliar (Rp 439 triliun) di 2023. Perusahaan bahan bakar yang membuat masalah. Kita perlu melihat mereka seperti Total, yang berinvestasi besar dalam pengembangan bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Itulah realitas kita sekarang,” kata Direktur Jenderal IATA Willie Walsh.
Kepala bisnis penerbangan dan kelautan raksasa energi Prancis mempertahankan komitmennya untuk membantu industri seperti penerbangan, yang hanya memiliki sedikit alternatif, untuk mencapai targetnya.
“Terima kasih telah meningkatkan hasil yang sangat baik. Saya tidak setuju bahwa kami tidak menjalankan peran kami soal bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Kami menjalankan peran kami,” kata Wakil Presiden Senior Divisi Bahan Bakar Penerbangan dan Kelautan TotalEnergies Louise Tricoire, dikutip dari Reuters pada Selasa (4/6).
Ia mengatakan TotalEnergies telah menginvestasikan kembali sebagian besar labanya untuk riset energi terbarukan.
Produksi bahan bakar penerbangan berkelanjutan meningkat dua kali lipat pada 2023, dan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2024.
Namun, harganya tiga kali lipat lebih mahal daripada minyak tanah. Maskapai penerbangan menegaskan bahwa hal itu harus dibebankan kepada konsumen.
Mereka juga mengeluh harus bersaing dengan industri lain untuk mendapatkan akses ke kapasitas bahan bakar terbarukan yang terbatas dan membutuhkan lebih banyak dukungan dari pemerintahan untuk menyelesaikan peralihan yang ambisius tersebut.
Pemerintahan tahun lalu menetapkan target sementara sebesar 5% emisi yang lebih rendah melalui penggunaan bahan bakar rendah karbon pada 2030.
IATA tidak menetapkan target interimnya sendiri, dengan para anggotanya yang tidak ingin terkungkung tanpa kebijakan pemerintahan yang luas untuk mendukung tujuan yang telah disepakati secara politis.
Namun, Willie mengatakan jumlah bahan bakar penerbangan berkelanjutan yang tersedia membuat target sementara itu terlihat ambisius. Ia pun menegaskan kembali target nol emisi di tahun 2050.
Di sela-sela pertemuan IATA, beberapa delegasi senior secara pribadi mempertanyakan apakah penerbangan dapat memenuhi target 2050, yang diadopsi pada tahun 2021 untuk mengaitkan aksi iklim sektor ini dengan kesepakatan Paris 2015.
Industri aviasi mencoba untuk melakukan transisi sambil memenuhi permintaan pasca-COVID - sebuah upaya yang diibaratkan oleh Direktur Keberlanjutan Qantas Andrew Parker sebagai operasi jantung sambil berlari maraton.
Di Eropa, kelompok-kelompok lingkungan mengatakan tantangan untuk memenuhi target 2050 diperburuk oleh skala pertumbuhan industri itu sendiri. IATA memperkirakan pendapatan hampir US$1 triliun (Rp 16.299 triliun) pada tahun 2024.
“Tidak ada perdebatan ketika saya pergi ke India, Tiongkok, Amerika Latin atau Afrika. Justru sebaliknya, ada keinginan yang tulus untuk melihat konektivitas yang lebih besar,” kata Willie.
Dihadiri oleh 1.700 delegasi, pertemuan IATA pada 2-4 Juni itu diadakan di Dubai, pusat internasional terbesar di dunia. Pertemuan tahunan IATA berikutnya akan diadakan di Delhi, ibu kota negara terpadat di dunia dan pusat kekuatan penerbangan lainnya.