Katadata Green HUT RI 79
Banner

Belum Ampuh Hadapi Krisis Iklim, Nilai Pasar Carbon Offset Turun 61%

vecteezy/khunkorn
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 3 Juni 2024, 09.19

Pasar carbon offset atau tebus karbon turun menjadi US$723 juta (Rp 11 trilliun) di 2023 dari US$1,9 miliar (Rp 30 triliun) di 2022.

Penurunan ini terjadi setelah serangkaian laporan ilmiah dan media menemukan bahwa banyak skema offset tidak berdampak untuk mengurangi krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Penelitian yang dilakukan oleh Ecosystem Marketplace, sebuah inisiatif nirlaba yang mengumpulkan data mengenai pasar karbon dari para pialang dan pedagang, menemukan bahwa pasar karbon telah menyusut sebesar 61%.

Penelitian ini mengaitkan penurunan tersebut dengan sejumlah penelitian ilmiah dan laporan media yang menyimpulkan bahwa jutaan offset tidak berharga. Beberapa proyek di antaranya terkait dengan masalah hak asasi manusia.

Setiap kredit karbon dimaksudkan untuk mewakili pengurangan atau penghapusan satu ton emisi CO2, dan kredit ini telah digunakan oleh perusahaan-perusahaan terkemuka untuk melabeli produk mereka dengan sebutan netral karbon atau untuk memberi tahu konsumen bahwa mereka dapat terbang, membeli pakaian baru, atau mengonsumsi makanan tertentu tanpa memperburuk krisis iklim dan keanekaragaman hayati.

Offset yang dihasilkan oleh skema yang melindungi hutan hujan, jenis yang paling populer, kehilangan 62% nilainya antara tahun 2022 dan 2023. 

Skema ini menjadi fokus investigasi bersama, yang menemukan bahwa lebih dari 90% penyeimbangan karbon hutan hujan dari sejumlah besar sampel proyek dari Verra - pemberi sertifikasi terkemuka di dunia - tidak bernilai.

Ditemukan juga potensi pelanggaran hak asasi manusia di sebuah proyek unggulan. Verra membantah temuan ini.

Menurut penulis salah satu studi dalam investigasi bersama tersebut dan profesor di Bangor University Julia Jones, reformasi mendesak diperlukan agar pasar karbon dapat bekerja sebagaimana mestinya.

Ia mengatakan pengawasan media itu penting dalam mengungkap bahwa banyak proyek, yang menerbitkan kredit Redd+ ke pasar karbon sukarela, telah menjual lebih banyak kredit daripada yang seharusnya.

“Sangat dibutuhkan lebih banyak dana untuk menghentikan hilangnya hutan dan manfaat pentingnya saat ini. Pasar karbon sukarela yang direformasi dapat memainkan peran kunci dalam menyediakan dana tersebut,” kata Julia, dikutip dari The Guardian pada Jumat (31/5). 

Pada Selasa (28/5), Gedung Putih Amerika Serikat (AS) mengadakan sebuah acara untuk mendukung upaya-upaya yang dipimpin oleh industri dalam mereformasi pasar karbon, mendukung inisiatif-inisiatif untuk membantu korporasi menghindari greenwashing dan memastikan bahwa kredit-kredit yang diberikan merepresentasikan dampak lingkungan yang sebenarnya.

Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan korporasi seharusnya memprioritaskan pengurangan emisi. Namun, pemerintahan Biden masih ingin melihat kesuksesan kredit karbon.

Langkah ini diambil di tengah-tengah perpecahan antara kelompok-kelompok lingkungan hidup mengenai peran kredit karbon dalam membantu korporasi mencapai target nol karbon.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.