Pendanaan iklim multilateral atau lintas negara menjadi salah satu langkah bagi negara-negara di dunia agar dapat menjalankan program-program iklimnya. Kondisi ini mempertimbangkan adanya kemampuan finansial yang tidak setara antara negara maju dan berkembang.
Mengutip Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), kondisi ini dirangkum dalam prinsip “common but differentiated responsibilties,” atau tanggung jawab bersama yang terbedakan. Prinsip ini melihat negara ekonomi maju harus ikut membantu negara bekembang dalam menanggulangi perubahan iklim, mencakupi bantuan finansial dan juga teknis.
Proyek-proyek iklim perlu pendanaan yang tidak sedikit. Perhitungan OECD menunjukkan, negara maju perlu mengucurkan dana sebesar 100 miliar dolar per tahun sampai tahun 2030. Jumlah ini diperkirakan dapat membantu inisiatif-inisiatif yang sudah ditetapkan dan dijalankan oleh negara-negara berkembang.
Dana dari negara maju dapat disalurkan melalui beberapa cara, salah satunya lembaga dana iklim multilateral. Beberapa lembaga tersebut adalah Green Climate Fund (GCF), Climate Investment Fund (CIF), Energy Transition Mechanism (ETM), serta Just Energy Transition Partnership (JETP). Lembaga-lembaga ini sedang dan telah mendanai proyek iklim di negara berkembang, baik untuk kebutuhan adaptasi melalui transisi energi, maupun mitigasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.
GCF dibentuk pada tahun 2010 dan diampu oleh UNFCCC. Sebelumnya, CIF dibentuk oleh Bank Dunia pada tahun 2008. Keduanya bertujuan mendanai kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca berbagai sektor di negara berkembang.
CIF memiliki skema pendanaan khusus untuk energi terbarukan melalui Clean Technology Fund, sementara Designated Grant Mechanism diarahkan untuk masyarakat adat dan lokal. Kedua lembaga ini masing-masing membiayai program iklim di 115 dan 72 negara, termasuk di Indonesia.
Sementara itu, ETM yang diampu Asian Development Bank dan JETP yang diampu beberapa negara Barat serta Jepang, dalam bentu International Partners Group diluncurkan tahun 2021. Kedua lembaga ini memiliki fungsi lebih khusus, yakni mendanai upaya pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap di negara berkembang. ETM bekerja sama dengan Indonesia, Filipina, Vietnam, Pakistan, dan Kazakhstan, sementara JETP dengan Indonesia, Afrika Selatan, dan Vietnam.
Kerja lembaga dana iklim multilateral ini dapat terlihat dari beberapa contoh pembiayaan proyek energi terbarukan. Di Maroko, CIF beserta Bank Pembangunan Afrika (AfDB) dan Bank Dunia mendanai komplek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terbesar di dunia, Noor-Ouarzazate Concentrated Solar Power. PLTS ini menghasilkan daya sebesar 580 megawatt (MW) dan dibangun dengan dana sebesar 435 juta dolar AS.
Selain itu, CIF dan AfDB juga sempat menggalang dana untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar di Kenya, yakni Proyek Menengai. CIF sempat mengucurkan 69,43 juta dolar AS untuk memulai pembangunan rangkaian PLTP ini yang diperkirakan akan menghasilkan total daya 465 MW.
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.