Katadata Green
Banner

Ekonomi Restoratif: Alternatif Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

ANTARA FOTO/AJI STYAWAN
Avatar
Oleh Penulis Katadata Green 26 November 2025, 18.13

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah. Adapun potensi tersebut meliputi sumber daya hutan, laut, hingga hasil perkebunan. Namun dibalik potensi besar tersebut, muncul tantangan serius untuk menjaga keseimbangan antara konservasi dan pemanfaatan hasil alam.

Tekanan terhadap sumber daya alam yang terus meningkat menuntut Indonesia untuk mencari model pembangunan yang tak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, namun memastikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.

Saat ini berbagai model ekonomi berkelanjutan sudah banyak diterapkan oleh pemerintah, seperti ekonomi hijau biru, ekonomi sirkular hingga bioekonomi. Meski demikian, peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) masih tetap tinggi. 

Menurut data dari Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) pada 2024, emisi GRK sepanjang 2019-2023 mencapai 150 MtCO2eq dan diproyeksikan masih akan meningkat signifikan hingga 2,86 GtCO2eq pada 2030 dengan skenario business as usual (BAU).

Sehingga, dibutuhkan model ekonomi berkelanjutan yang memerhatikan praktik pelestarian lingkungan guna menekan potensi naiknya emisi GRK ke depan. 

Guna mengelola potensi alam di Indonesia secara berkelanjutan, pendekatan ekonomi restoratif menjadi alternatif yang dapat menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya alam dengan upaya ekosistem dan kesejahteraan sosial. 

Berbeda dari praktik ekonomi konvensional yang cenderung eksploitatif dan mengabaikan daya dukung lingkungan, ekonomi restoratif menempatkan pemulihan alam serta keberlanjutan masyarakat sebagai inti dari kegiatan ekonomi.

Hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan berbagai praktik pemulihan dan perlindungan alam untuk kegiatan ekonomi, salah satunya melalui agroforestri. Sistem agroforestri dinilai dapat memulihkan ekosistem, mencegah tanah longsor, hingga meningkatkan nilai ekonomi lahan dan penguatan kedaulatan pangan lokal. 

Sistem ini tercatat mampu menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar, bahkan mampu mencetak komoditas ekspor. Pada Oktober 2024 lalu, program Perhutanan Sosial (PS) dan rehabilitasi lahan mampu mengekspor komoditas agroforestri ke Jepang yang diekspor oleh Kelompok PS Sukobubuk Rejo, Pati, Jawa Tengah. Adapun komoditas yang diekspor antara lain pete, jengkol, cabai, nangka, dan daun pepaya mencapai 9 ton dengan nilai transaksi ekonomi sebesar Rp 989 juta.

Lebih lanjut, analisis Cendekia Iklim mengungkapkan, rehabilitasi lahan kritis melalui agroforestri diproyeksikan mampu berkontribusi efektif bagi perekonomian hingga alam bila dibandingkan dengan skenario BAU. 

Menurut kajian Cendekia Iklim pada 2025, rehabilitasi lahan kritis melalui agroforestri dengan partisipasi pada lahan seluas 352 ha/tahun dengan anggaran sekitar Rp 5,2 miliar/tahun dapat meningkatkan pendapatan daerah hingga Rp 406,5 miliar/tahun. 

Adapun hal ini juga berkontribusi pada naiknya 830 tenaga kerja/tahun dibandingkan skenario BAU, kemudian emisi AFOLU juga menurun hingga 3,4 ribu ton CO2eq melalui skema tersebut. 

Meski upaya ekonomi restoratif telah dilakukan di Indonesia, skema ini masih menghadapi akses pembiayaan hijau yang belum optimal. Menurut laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2024 bertajuk “Paradigma Baru Ekonomi: Dukungan Fiskal untuk Ekonomi Restoratif”, pemerintah Indonesia belum memiliki pos anggaran spesifik untuk inisiatif ekonomi restoratif. 

Anggaran tersebut masih tersebar pada berbagai jenis pendanaan seperti lingkungan hidup, restorasi gambut dan mangrove hingga pengelolaan sampah.

Direktur Eksekuitf CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan, perlu adanya reorientasi fiskal dengan menerapkan pajak progresif serta mengarahkan pendapatan pajak untuk pengembangan ekonomi restoratif.

Di samping itu, penerapan restoratif di Indonesia masih mengalami keterbatasan kerangka kebijakan. Bhima menilai, sebanyak 80% kebijakan saat ini masih belum diterapkan dengan maksimal, bahkan kurang atau tidak ideal. 

Bahkan dari 43 kebijakan terkait ekonomi restoratif, baru sekitar 70% yang sudah diterapkan dengan kondisi dan dampak yang berbeda.

“Kami menganalisis banyak sekali celah kebijakan untuk penerapan ekonomi restoratif, mulai dari tumpang-tindih, regulasi yang tidak terintegrasi, sampai kekosongan payung kebijakan untuk implementasinya,” kata Bhima dalam wawancara dengan Katadata.

Hal ini mengindikasikan bahwa skema restoratif perlu dimaksimalkan untuk mewujudkan perekonomian yang lebih adil, inklusif dan berkelanjutan.

Meski demikian, kajian CELIOS pada 2025 mengungkapkan, sebanyak 23,47 ribu desa di Indonesia memiliki potensi restoratif yang tinggi. Bahkan, ekonomi restoratif berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar Rp 177,5 triliun dengan skema BAU hingga Rp 2.208 triliun dengan skema progresif dalam 25 tahun ke depan.

Bhima menjelaskan, skema tersebut dapat mendongkrak PDB secara eksponensial dalam jangka panjang apabila fokus pada ekonomi restoratif yang berorientasi pada pemulihan ekosistem dan pemberdayaan masyarakat. 

"Artinya, bila ekosistem alam dan sistem sosial dipulihkan, maka kegiatan ekonomi masyarakat dapat berlangsung lebih baik karena pertumbuhan ekonomi bisa didistribusikan hingga ke masyarakat daerah." ujar Bhima.

Terlebih, data CELIOS mengungkapkan, lebih dari 85% masyarakat Indonesia bergantung pada alam, sehingga pemanfaatan ekonomi yang mengedepankan pengelolaan alam berkelanjutan menjadi kebutuhan penting agar kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan masyarakat tetap terjaga. 

Editor : Fitria Nurhayati
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.