Revisi Undang-Undang nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024-2029. Pemerintah berdalih bahwa revisi ini diperlukan guna penyelarasan tata kelola hutan nasional dengan perkembangan regulasi dan kebijakan pembangunan – termasuk diantaranya penyelarasan dengan UU Cipta Kerja.
Namun demikian, revisi UU ini menjadi sorotan publik, khususnya terkait hajat hidup masyarakat adat yang menggantungkan kehidupan mereka pada hutan.
Bagi masyarakat adat, hak konstitusional mereka atas wilayah kelola mereka masih belum terjamin dalam substansi revisi UU. Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 telah menyatakan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berdasarkan kertas posisinya mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Kehutanan ini belum mengakomodir kepentingan masyarakat adat.
Dalam analisisnya, WALHI menggunakan tiga pendekatan: filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dari aspek filosofis, WALHI menilai negara masih memandang hutan sebagai komoditas yang layak dieksploitasi. Paradigma ini berlawanan dengan cara pandang masyarakat adat yang melihat hutan sebagai ruang hidup.
“Undang-Undang Agraria kita menjelaskan bahwa negara hanya punya kewenangan untuk mengatur dan mengurus,bukan memiliki tanah. Tetapi dalam UU kehutanan ini dan praktiknya, negara itu seolah-olah memiliki suatu wilayah,” tegas Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Artha Siagian dalam wawancara bersama tim Katadata Green (21/8).
Menurut Uli, paradigma ini menimbulkan konflik tenurial berkepanjangan di berbagai wilayah di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat ada 687 letupan konflik, kriminalisasi pada 925 orang, 60 orang mengalami kekerasan dan satu kasus kematian dalam satu dekade terakhir.
Dari sisi sosiologis, revisi parsial dianggap berpotensi memperburuk konflik agraria, dan ketimpangan penguasaan lahan.
Dalam Kertas Posisi terkait Revisi UU Kehutanan, WALHI menyatakan bahwa UU nomor 41 tahun 1999 mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural.
Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat hutan yang terbebani izin korporasi ada lebih dari 37,6 juta hektar dengan 12,9 juta hektar di antaranya ada di Kalimantan. Sementara itu, pemberian akses masyarakat atas hutan melalui skema perhutanan sosial (PS) hanya 5.415.122 hektar atau 9.472 unit yang terdistribusi kepada 1.232.961 keluarga. Kondisi yang lebih miris terjadi pada sektor hutan adat di mana hanya 332.505 hektar atau 156 surat keputusan alias hanya 1,3% dari potensi terdata.
Data ini menunjukkan bahwa ekspansi perizinan korporasi dan proyek skala besar jauh melampaui pengakuan hak atas wilayah adat.
Sementara dari sisi yuridis, WALHI menekankan UU Kehutanan sudah delapan kali diubah, perubahan tersebut melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan dan terakhir melalui UU Cipta Kerja – membuktikan UU sekarang sudah tidak layak lagi dipertahankan.
Terkait kondisi ini, Uli mengatakan bahwa organisasinya mendorong revisi total Undang-Undang Kehutanan serta pelibatan masyarakat dalam prosesnya. Di sisi lain ia merekomendasikan apabila revisi total memakan waktu panjang, maka pada tahun ini, cukup berfokus untuk mengesahkan Undang-Undang masyarakat adat.
“Titik tengahnya mungkin fokus saja pada mengesahkan Undang-Undang masyarakat adat pada tahun ini sembari kemudian menyusun Undang-Undang Kehutanan yang baru yang lebih partisipatif, yang mampu menjawab kebutuhan kita saat ini dan kebutuhan kita di masa depan,” pungkas Uli.