Katadata Green
Banner

Arah Baru Komitmen Iklim: Menanti Second NDC Indonesia

123RF.com/Dilok Klaisataporn
Avatar
Oleh Sahistya Dhanes 22 Oktober 2025, 09.54

Indonesia sedang memasuki tahap pembaruan komitmen iklim nasional dengan disusunnya Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), yang merupakan kelanjutan dan peningkatan arah ambisi negara setelah Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). 

Secara umum, NDC adalah dokumen yang menjadi bukti komitmen negara-negara dunia dalam mitigasi krisis iklim. Dalam penyusunan NDC, masing-masing negara memiliki fleksibilitas dalam menentukan target dan aksi iklim  mereka sendiri berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan sumber daya nasional namun tetap dalam kerangka tujuan global.

Dalam NDC pertamanya, Indonesia mencanangkan target pengurangan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030 mendatang. Kemudian dalam ENDC, Indonesia mencanangkan target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030 mendatang.

Merujuk pada rilis Kementerian Lingkungan Hidup Juli 2025, pemerintah sudah memasuki tahap akhir dalam penyusunan dokumen Second NDC. Dokumen Second NDC nantinya akan menjadi acuan untuk mengarahkan kebijakan iklim nasional untuk periode 2031–2035.

Dokumen ini juga dimaksudkan sebagai jembatan menuju target jangka panjang seperti net-zero emission pada tahun 2060 (atau lebih cepat jika memungkinkan) dan kaitannya dengan visi pembangunan jangka panjang.

“Second NDC bukan sekadar laporan, tapi peta jalan yang mencerminkan kesungguhan Indonesia dalam melindungi bumi, memperkuat daya saing ekonomi, dan membangun masa depan yang lebih adil bagi seluruh rakyat,” tegas Menteri Hanif.

Dalam dokumen enhanced NDC yang berlaku saat ini, sektor yang ditargetkan mengalami pengurangan emisi meliputi sektor energi, kehutanan, limbah, pertanian, serta proses industri dan penggunaan produk (Industrial Processes and Product Use/IPPU).

Adapun dalam Second NDC pemerintah berencana menambahkan sektor dan subsektor hulu migas untuk ditarget pengurangan emisinya.

Namun hingga Oktober 2025, Indonesia belum merilis dokumen Second NDC tersebut meski tenggat penyerahan, yang jatuh pada September lalu, telah terlewat. Meski begitu pemerintah memastikan bahwa dokumen Second NDC sudah disiapkan.

Dalam kesempatan lain, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tri Purnajaya meyakinkan bahwa Second NDC ini dapat segera disepakati sebelum penyelenggaraan COP30 di Brazil. 

“Sebenarnya draft-nya sudah ada, saya masih optimis kan masih beberapa minggu lagi,” kata Tri, dalam diskusi ‘Menagih Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, di Jakarta, Selasa (14/10).

Lebih lanjut, Tri mengatakan bahwa target iklim Indonesia dalam draft Second NDC ini cukup ambisius. "Semoga bisa segera disepakati,” tambahnya. 

Dokumen tersebut harus dikirimkan kepada UNFCCC sebelum gelaran COP30. Konferensi iklim tingkat tinggi tersebut dijadwalkan berlangsung pada 10-21 November 2025 mendatang. 

Ambisi Iklim Indonesia: Kesenjangan Target dan Implementasi

Kebijakan domestik Indonesia dinilai belum cukup mendukung pencapaian target NDC secara efektif. Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Syaharani dalam paparannya mengungkapkan bahwa hal itu disebabkan oleh adanya diskrepansi atau tidak sejalannya target iklim Indonesia dengan kebijakan pendukungnya.

“Indonesia kan (sudah) berkomitmen dalam Enhanced NDC, Indonesia commit untuk menambah 25GW energi baru dan terbarukan (EBT), tapi kebijakan Indonesia saat ini belum cukup kuat untuk mendukung pengembangan EBT secara masif dalam waktu 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Jadi masih terdapat kebijakan yang sifatnya kontraproduktif terhadap pencapaian target NDC Indonesia,” paparnya dalam diskusi ‘Menagih Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca’.

Spesifik pada sektor energi, yang menjadi salah satu kontributor NDC, Syaharani menyoroti bahwa banyak kebijakan sektor energi yang masih memberikan insentif terhadap pengembangan energi fosil. 

“Misalnya di PP Mineral dan Batubara kita melihat masih adanya pemberian 0 persen royalti kalau ada hilirisasi batubara. Kemudian program-program PLTU kita yang masuk ke dalam program percepatan infrastruktur ketenagalistrikan itu semua bisa dianggap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang memberikan kemudahan-kemudahan termasuk, kemudahan perizinan untuk PLTU-PLTU ini dibangun,” imbuh Syaharani dalam diskusi tersebut.

Menurutnya, kebijakan-kebijakan tersebut sudah cukup menghambat pemenuhan komitmen iklim Indonesia dari sektor energi.

Lanjutnya, sebagai bagian dari penguatan komitmen indonesia diperlukan peninjauan kembali terhadap kebijakan-kebijakan sektoral sehingga ekosistem kebijakan ini bisa membantu Indonesia untuk tidak hanya mencapai target NDC tapi bisa juga mendukung komitmen yang lebih baik dan lebih kuat dari Indonesia dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim.

Tak hanya dari kebijakan, kesenjangan lainnya muncul dari adanya hambatan dalam pemenuhan akses informasi partisipasi dan co-creation antara masyarakat sipil, komunitas dan pemerintah dalam perumusan kebijakan iklim.

Ia menyoroti aspek-aspek sosial dalam komitmen iklim Indonesia yang dianggap belum cukup kuat untuk melindungi kepentingan masyarakat.

“Kalau kita merefleksikan dari sektor sosial, misal seperti perlindungan masyarakat rentan, masyarakat adat, memastikan bahwa akses informasi dan partisipasi masyarakat terjamin dalam proses pembangunan, Indonesia masih memiliki beberapa kebijakan yang sebenarnya belum cukup kuat untuk melindungi kepentingan-kepentingan ini,” pungkas Syaharani lagi.

Editor : Fitria Nurhayati
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.