Katadata Green
Banner

Menuju COP30, Melihat Posisi Indonesia dalam Negosiasi Iklim Global

Kementerian Lingkupan Hidup / Badan Pengendalian Lingkungan Hidup
Avatar
Oleh Try Surya 21 Oktober 2025, 16.36

Konferensi Para Pihak atau Conference of the Parties (COP) 30 di Belém, Brasil pada 10–21 November 2025 akan menjadi panggung penting bagi delegasi Indonesia untuk menjelaskan bagaimana janji-janji iklim akan diterjemahkan menjadi langkah konkret di lapangan. Tujuan konferensi di bawah naungan UNFCCC ini jelas: menjaga kenaikan suhu bumi tidak melebihi 1,5°C atau setidaknya 2°C dengan mempercepat penurunan emisi dan memastikan dukungan pendanaan negara maju bagi negara berkembang.

Presiden Prabowo berulang menegaskan, Indonesia berkomitmen pada Perjanjian Paris dan menargetkan net zero pada tahun 2060 atau lebih awal. Lebih dari 12 juta hektar lahan terdegradasi akan dipulihkan, komunitas akan diberdayakan dengan pekerjaan hijau berkualitas, dan energi terbarukan akan menjadi sumber daya masa depan.

Secara formal, Indonesia telah meneken ambisinya dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang diserahkan ke UNFCCC di 2022. Target pengurangan emisi 31,89% secara unconditional dan sampai 43,20% secara conditional terhadap skenario business-as-usual (BAU) pada 2030. Dalam penghitungan NDC, skenario BAU ini diproyeksikan mencapai sekitar 2,869 GtCO₂-eq pada 2030, angka yang menjadi dasar perhitungan target pengurangan tersebut.

Kemudian dilanjutkan dengan Second NDC (SNDC) pada 2024, pemerintah berjanji SNDC akan selaras dengan tujuan global untuk menahan laju pemanasan bumi di tingkat 1,5°C. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, dokumen strategis yang mengarahkan kebijakan iklim periode 2031-2051 ini merupakan peta jalan yang membawa Indonesia lebih bersih, hijau, dan berkelanjutan.

Namun hingga naskah ini diturunkan, menjelang bergulirnya COP30, Indonesia masih belum menyampaikan dokumen SNDC ke PBB. Padahal, batas waktu penyetoran telah berlalu sejak September lalu. Tri Purnajaya, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri meyakinkan, pemerintah tetap optimistis dapat segera menyerahkannya.

Di sisi lain, Tri mengatakan, komitmen iklim nasional perlu diselaraskan dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintahan baru. Menurut dia, sektor energi menjadi tumpuan penting dalam mewujudkan industrialisasi berkelanjutan.

“Komitmen Indonesia perlu disesuaikan dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Kita juga bukan satu-satunya negara yang belum menyerahkan dokumen SNDC, baru sekitar separuh dari negara-negara pihak Perjanjian Paris yang sudah melakukannya,” bebernya.

Pernyataan tersebut sekaligus menuai kritik lantaran dianggap menempatkan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan sebagai dua kepentingan yang saling bertentangan. Padahal, tanpa lingkungan yang sehat dan lestari, pembangunan ekonomi justru akan kehilangan pijakan dasarnya.

Lebih dari Diplomasi Iklim

Di gelaran COP30, negara berkembang seperti Indonesia menempatkan diri dalam peta diplomasi iklim global sebagai bentuk memperjuangkan keadilan iklim. Indonesia membagi menjadi 12 agenda delegasi RI yang akan dibawa ke COP30. Dua belas agenda ini dibawahi oleh 19 working group.

Tri menjelaskan, tantangan utama Indonesia dalam menjalankan aksi iklim saat ini mencakup upaya menjaga kepercayaan di mata dunia, memperoleh dukungan internasional berupa pendanaan dan transfer teknologi hijau, serta menjamin keadilan bagi negara-negara berkembang melalui mekanisme Loss and Damage Fund dan keterlibatan dalam pasar karbon.

Kendati menghadapi berbagai hambatan, Indonesia tetap memiliki peluang besar untuk menegaskan komitmennya dalam menurunkan emisi di ajang COP30 mendatang. Ia menilai, momentum tersebut bisa dimanfaatkan untuk menarik perhatian investor, lembaga donor, dan mitra pembangunan agar mendukung agenda iklim nasional.

Sebelumnya, Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono menilai, isu climate finance masih jadi pekerjaan rumah besar. Climate Finance pada awalnya di Copenhagen Accord menjanjikan pemberian bantuan kepada negara berkembang sebesar USD100 juta per tahun.

“Tapi menurut UNFCCC itu belum terealisasi, lalu New Collective Quantified Goals dari target 1,3 triliun dolar baru disepakati 300 miliar dolar,” bahas Wamen Diaz, mengutip rilis resmi Kementerian Lingkungan Hidup.

Selain fokus pada pendanaan, lanjut Diaz, delegasi Indonesia memanfaatkan COP30 sebagai momentum untuk memperkuat diplomasi karbon di tingkat global. Tahun ini, Paviliun Indonesia juga disuguhkan menjadi arena memperluas kerja sama dan transaksi karbon lintas sektor.

Sejumlah peluang tengah dijajaki sebagai langkah awal. Mulai dari potensi pembelian 12 juta ton CO₂e oleh Norwegia hingga tahun 2035, kemitraan dengan Jepang dan Korea, sampai pengembangan Renewable Energy Certificate (REC) oleh PLN. Pemerintah juga berupaya memperluas jangkauan perdagangan karbon melalui Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan lembaga berstandar internasional seperti Gold Standard (GS) dan Verra.

Sementara itu, Lead Program Iklim dan Ekosistem Madani Berkelanjutan, Yosi Amelia berpendapat, posisi Indonesia diharapkan mencerminkan keseimbangan antara kepentingan domestik, komitmen global, dan kebutuhan akan keadilan iklim bagi negara berkembang.

Terdapatnya agenda fokus jual-beli karbon, semestinya masuk dalam konteks negosiasi bukan sekadar transaksi. “Sangat disayangkan bahwa isu karbon ini yang ditargetkan adalah jumlah investasinya. Berapa jumlah transaksinya yang terjadi di COP 30. Sementara untuk negosiasinya dalam article 6 (Paris Agreement) ini Indonesia tidak begitu kuat, tidak prioritas juga,” bahas dia.

Menurut catatan Yosi, setidaknya terdapat tujuh agenda kunci yang akan menjadi medan perundingan sengit di COP30. Arah diplomasi Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh dinamika pembahasan terkait Global Stocktake, Just Transition Work Programme (JTWP), Global Goal on Adaptation (GGA), National Adaptation Plan (NAPs), Sharm el-Sheikh Mitigation Work Programme (MWP), Technology Implementation Programme, serta isu Loss and Damage.

Dalam isu mitigasi, Indonesia menekankan pentingnya memasukkan prinsip-prinsip Konvensi dan Paris Agreement ke dalam Sharm el-Sheikh MWP, termasuk mandat kerja yang telah disepakati sebelumnya. Indonesia juga mendorong adanya platform digital untuk memperluas akses terhadap means of implementation (MoI) agar dukungan pendanaan dan teknologi bisa lebih merata.

Pada isu pembiayaan iklim, posisi Indonesia menekankan pentingnya inklusivitas dalam keanggotaan Adaptation Fund Board dan transparansi dalam transisi pengelolaan dana sesuai mandat Paris Agreement. Indonesia juga meminta agar komposisi dewan tetap tidak berubah untuk menjamin representasi wilayah yang setara, serta mendesak adanya jadwal yang jelas terkait penyusunan syarat dan ketentuan baru dari World Bank sebagai wali dana.

“COP30 momen penting bagi Indonesia untuk mempertegas peran dan kepemimpinan dalam transisi energi, adaptasi, dan pembiayaan iklim. Transparansi menjadi kunci, terutama dalam mekanisme share of proceed dan kontribusi sukarela,” tegas Yosi.

Editor : Fitria Nurhayati
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.