Katadata Green
Banner

Cuaca Panas Ekstrem Menjadi Tantangan Bagi Lembaga Bantuan di Gaza

Instagram @unitednation
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 17 Agustus 2024, 04.43

Di Gaza, langit penuh dengan ancaman. Selain rudal yang menghujani sekolah dan tempat perlindungan, sinar matahari yang terik telah membuat musim panas tak tertahankan bagi mereka yang berjuang untuk bertahan hidup di bentang lahan yang porak poranda akibat reruntuhan dan puing-puing.

Samaher al-Daour terkadang berharap dia terbunuh pada hari-hari awal perang Israel-Hamas daripada harus melihat putranya, yang kehilangan satu kakinya selama konflik, menanggung panas yang tak tertahankan.

"Situasinya mengerikan. Pada siang hari, di dalam dan luar tenda sangat panas. Kami pergi ke laut tetapi tetap saja sangat sulit," kata Samaher, 42 tahun, saat duduk di samping putranya yang berusia 20 tahun, Haitham, di tenda mereka yang pengap di kota selatan Khan Younis pada bulan Juni.

Haitham kehilangan kakinya pada bulan Februari selama serangan udara Israel terhadap sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNWRA) di kamp pengungsi Maghazi di Jalur Gaza tengah.

Sekarang hawa panas yang menyengat membuatnya tidak bisa beristirahat untuk memulihkan tenaganya. Ia terus-menerus berkeringat dan ini membuat kakinya gatal dan bengkak.

"Dia menderita karenanya," kata Samaher dalam wawancara telepon, dikutip dari New Straits Times, Selasa (13/8).

Setelah 10 bulan perang, hampir seluruh dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi. Mereka tinggal di tenda-tenda atau tempat penampungan yang penuh sesak, dan hampir tidak ada listrik dan sedikit air bersih.

Kelaparan dan lemah, mereka tidak bisa mandi dan kesulitan tidur di tempat penampungan yang panas. Di tengah panasnya cuaca, makanan membusuk, menarik serangga dan lalat ke kamp-kamp yang penuh sesak, tempat orang-orang, yang telah dipaksa mengungsi berulang kali, kini berisiko terserang sengatan panas dan penyakit terkait panas lainnya.

Sejak April, Gaza telah mengalami beberapa periode panas ekstrem, dengan suhu mencapai sekitar 40 derajat Celcius selama bulan tersebut. Menurut ramalan cuaca swasta Amerika Serikat AccuWeather, suhu sepanjang Agustus mencapai rata-rata tertinggi 34 derajat Celcius.

Pada akhir Juni, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan panas yang menyengat dapat memperburuk masalah kesehatan bagi jutaan orang yang mengungsi dan memperingatkan bahwa krisis kesehatan masyarakat sedang mengancam karena kurangnya air bersih, makanan, dan pasokan medis.

Cuaca panas juga mempersulit lembaga-lembaga bantuan, yang sudah terhambat dalam pekerjaan mereka akibat serangan udara, pertempuran, dan infrastruktur yang rusak.

"Adil untuk mengatakan bahwa mayoritas responden kemanusiaan, termasuk para donor, belum benar-benar mempertimbangkan ancaman panas dan suhu panas ekstrem," kata Paul Knox Clarke, kepala ADAPT, sebuah inisiatif iklim dan kemanusiaan.

Menurutnya, kengerian yang ditangani organisasi kemanusiaan dalam krisis, sering kali menghabiskan terlalu banyak kemampuan dan mencegah mereka mengatasi tantangan tambahan, seperti beradaptasi dengan dampak perubahan iklim selama operasi bantuan.

"Ini bukan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya, tetapi ini bukan bagian dari pedoman yang biasa," kata Paul.

Prabu Selvam, petugas medis di badan bantuan Americares, mengatakan semuanya jadi rumit dan pengangkutan obat-obatan yang harus disimpan dalam suhu dingin terbukti sangat menantang.

Karena pembatasan Israel, truk bantuan sering menghabiskan waktu berjam-jam di bawah terik matahari, menunggu izin.

"Tentu saja, hal ini akan berdampak pada masyarakat, karena seringkali obat-obatan yang harus disimpan pada suhu tertentu untuk menjaga kualitas dan keamanannya adalah yang paling dibutuhkan," kata Prabu.

Tantangan baru bagi lembaga bantuan

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, hampir 40.000 orang tewas dan sekitar 92.000 orang terluka sejak tentara Israel memulai serangannya di Gaza.

Israel melancarkan serangan setelah Hamas menyerbu Israel pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 250 orang, menurut angka-angka yang dirilis Israel.

Serangan tersebut menghancurkan rumah, sekolah, dan infrastruktur penting, seperti rumah sakit dan klinik.

Israel secara ketat membatasi aliran makanan dan bantuan ke Jalur Gaza dan lembaga-lembaga kemanusiaan telah memperingatkan adanya risiko kelaparan.

Kini, suhu panas ekstrem di musim panas menambah penderitaan.

Beberapa tahun terakhir telah terjadi serangkaian gelombang panas yang mematikan melanda wilayah Mediterania dan para ilmuwan mengatakan perubahan iklim adalah penyebab gelombang panas yang berbahaya tersebut.

Menurut Pakar Ketahanan Iklim Save the Children Fadi Dweik, lembaga internasional yang bergerak dalam kesejahteraan anak tersebut telah menyesuaikan operasinya di Gaza.

Kepada Thomson Reuters Foundation, Fadi mengatakan Save the Children biasanya akan berfokus pada pemberian layanan kesehatan mental dan dukungan pendidikan sebagai langkah tanggap pertama.

Namun kini, prioritasnya adalah pada penyediaan layanan air dan sanitasi serta dukungan gizi dan kesehatan.

"Konflik tersebut membuat kami memikirkan detail dan menerapkan alternatif yang belum pernah kami pikirkan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, faktor lingkungan menjadi prioritas karena kami tidak dapat mengabaikannya meskipun ada perang dan kerusakan yang terjadi," ujar Fadi.

Menurut Sabah Khames, cuaca panas juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan.

Wanita berusia 62 tahun itu meninggalkan rumahnya di Rafah dekat perbatasan Mesir pada bulan Mei dan sekarang tinggal di tenda bersama 18 kerabat lainnya.

"Tenda itu adalah karavan sempit yang seluruhnya terbuat dari lembaran logam. Di dalamnya seperti sauna. Kadang-kadang, saya hampir tidak bisa bernapas," kata Sabah dalam wawancara telepon.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.