Center of Reform on Economics atau CORE menyebut persoalan polusi udara bisa dibenahi dengan menggiatkan penggunaan kendaraan umum dan adopsi kendaraan listrik.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics atau CORE, Mohammad Faisal, mengatakan
pemerintah perlu memperbaiki kualitas kendaraan umum agar penggunanya semakin banyak.
“Di Jakarta, misalnya, Transjakarta selain pakai gas juga sudah pakai listrik,” ujarnya dalam siniar Green Talks Katadata pada Jumat (11/4).
Ia tak menampik kemampuan fiskal tiap daerah tidak sebaik Jakarta. Pasalnya, Jakarta mampu mensubsidi tiket Transjakarta yang harusnya Rp 11.500 namun dibebankan hanya Rp 3.500 ke masyarakat. Kendati demikian, menurutnya beberapa daerah sudah mulai antusias mencoba kendaraan publik.
“Bali itu antusiasi sekali, kemudian Jawa Barat, meski karena pabrik kendaraan listrik itu ada di Jawa Barat,” ujar Faisal.
Kedua, ia menyarankan peralihan kendaraan berbasis BBM menjadi kendaraan listrik. Untuk langkah ini, ia juga meminta insentif yang adil kepada pemerintah agar emisi dari kendaraan bermotor kian berkurang.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform atau IESR Fabby Tumiwa sepakat dengan Faisal. Menurutnya saat ini sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar di Tanah Air.
“Dari transportasi, 80% bahan bakar yagn dikonsumsi di Indonesia itu kualitasnya rendah, sekitar 85%. Bisa kita bayangkan memburuknya polusi udara karena kualitas rendah,” ujar Fabby.
Sebelumnya, pada 2018 sudah ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mewajibkan peningkatan kualitas BBM. Permen ini mewajibkan peningkatan kualitas BBM terjadi pada 2020, namun karena ada Pandemi Covid-19 hal ini diundur hingga sekarang belum terlaksana.
“Kami coba mendorong dan berharap bisa segera, Pertamina memproduksi bahan bakar dengan standar Euro-4. Ini memang bergantung pada kesiapan kilang Pertamina, kalau dilihat dari paparan mereka waktu itu, mereka bisa 100% di 2028,” tutur Fabby.
Di sisi lain, survei CORE mencatat 74,4% warga Jakarta setuju terhadap kebijakan BBM Euro-4. Mereka bersedia membayar rata-rata harga maksimum Rp 11,9 ribu per liter untuk bensin Euro-4 dan Rp 8,7 ribu untuk diesel Euro-4.
“Ada 53,6% yang setuju melaksanakan kebijakan BBM Euro 4 secara bertahap dan 20,8% sepakat melaksanakan kebijakan sesegera mungkin.” ujar Faisal.
Survei ini dilakukan pada Desember 2024 atas 394 orang responden. Sekitar 61,4% responden memiliki rata-rata pendapatan bulanan Rp 2–5 juta dan 48,5% bekerja pada sektor informal.
Kendati mayoritas setuju, sekitar 50,8% responden meminta pemerintah melakukan sosialisasi Euro-4. Sebanyak 23,1% juga masih berharap ada subsidi harga kendaraan untuk mendukung kebijakan tersebut.
Euro-4 sendiri adalah standar kandungan maksimal sulfur untuk bensin dan diesel sebesar 50 ppm. Saat ini, Indonesia sudah menggunakan standar Euro 4 untuk mobil berat dan mobil penumpang, namun sepeda motor masih menggunakan standar Euro 3. Artinya, kandungan sulfur maksimal di bensin senilai 150 ppm sementara diesel 350 ppm.
Hanya ada tiga jenis BBM yang memenuhi standar Euro 4 dari delapan pilihan di pasaran. Pertama, BBM diesel Pertadex 53 dengan spesifikasi maksimal sulfur 50 ppm. Dari jenis bensin, ada Pertamax Green 95 dan Pertamax Turbo 98.
Sayangnya, penggunaan tiga jenis BBM ini masih sekitar 0% bila dibandingkan dengan seluruh jenis BBM. Dari jenis diesel, penggunaan paling banyak adalah Biosolar 48 subsidi dengan volume 17,3 juta kiloliter atau setara dengan 26% konsumsi nasional. Biosolar 48 memiliki tingkat sulfur 2.500 ppm, jauh dari standar Euro 4. Dari jenis bensin, penggunaan paling banyak adalah Pertalite 90 subsidi dengan konsumsi 30,2 juta kiloliter atau setara 45%.