Pemerintah optimistis perdagangan karbon di Indonesia tetap menarik bagi investor global meskipun Amerika Serikat menarik diri dari Kesepakatan Paris.
Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH, Wahyu Marjaka mengatakan kebijakan iklim Donald Trump tidak akan mempengaruhi pasar karbon internasional yang baru saja dirilis Indonesia. Ia menyebut Indonesia tidak bergantung kepada AS untuk perdagangan karbon.
“Enggak ada urusan. Partner kita banyak dari Eropa, Australia, Kanada. Asia juga kencang,” katanya dalam acara ulang tahun ACEXI, Kamis (23/1).
Seperti diketahui, Bursa Efek Indonesia telah meluncurkan perdagangan karbon internasional pada 20 Januari 2023. Perdagangan ini mencatatkan volume 41,822 ton CO2 dalam debutnya. Pada perdagangan perdana karbon internasional ini terdapat lima proyek, sembilan pengguna jasa, dan sembilan pembeli.
Berdasarkan data IDXCarbon, sepanjang 26 September 2023-17 Januari 2025, volume Perdagangan IDXCarbon tergolong sepi, hanya sebesar 1,131 juta tCO2e. Nilai perdagangan IDX Carbon mencapai Rp 58,87 miliar. BEI mencatat adalah 6 Project Listed Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) dan 104 pengguna jasa.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno menilai kebijakan iklim Trump akan lebih berdampak terhadap proyek Just Energy Transition Partnership (JETP). Skema pendanaan ini diinisiasi oleh sejumlah negara maju, termasuk Amerika Serikat, untuk mendorong transisi energi di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
"Apakah Amerika akan menarik komitmennya, membekukan, menunda atau apa saya kira JETP perlu dipertimbangkan secara serius,” katanya.
Kendati demikian, ia meyakini pelaku industri di Indonesia tetap akan berkomitmen melakukan transisi energi. Pasalnya, para pemegang saham dan lembaga-lembaga keuangan kini juga sudah menuntut pelaku usaha untuk melakukan transisi energi.
“Kalau enggak pembiayaan tidak akan diberikan lagi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Association of Carbon Emission Experts Indonesia (ACEXI), Lastyo Kuntoaji Lukito tantangan pengelolaan karbon saat ini adalah membuat standar yang tepat. Indonesia bisa mengadopsi standar yang sudah ada dan diintegrasikan dengan regulasi.
“Indonesia bisa juga menciptakan yang baru berbasis rekognisi dari para pakar dan praktisi untuk membentuk suatu standar tertentu,” katanya.