Katadata Green
Banner

Di Tengah Pemanasan Iklim, Topan di Asia Tenggara Merusak ke Utara

123rf.com/Andrey Kryuchkov
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 2 Agustus 2024, 19.03

Topan Gaemi, yang melanda Filipina, Taiwan, dan Tiongkok selatan pada akhir Juli, mengisyaratkan apa yang akan terjadi ketika iklim yang memanas mempercepat pembentukan badai dahsyat dan menggeser jalurnya ke arah utara.

Gaemi, badai ketiga yang diberi nama dan topan kedua pada musim topan tahunan, menewaskan puluhan orang saat menimbulkan kerusakan yang tak terhitung di jalurnya.

Saat bumi menghangat, topan di Asia Tenggara diperkirakan akan menguat lebih cepat, bergerak ke utara menuju tempat-tempat seperti Tiongkok dan semenanjung Korea, dan melambat di daratan, menyebabkan kerusakan lebih parah di daerah pesisir yang berpenduduk padat dan sekitarnya.

Studi pemodelan topan yang dilakukan oleh para peneliti di Universitas Teknologi Nanyang (NTU) dan dua lembaga Amerika Serikat juga menemukan bahwa kota-kota pesisir seperti Bangkok, Yangon, dan Hai Phong di Vietnam kemungkinan besar akan menanggung beban terberat dari siklon yang berlangsung lebih lama dan lebih kuat ini.

Direktur Observatorium Bumi Singapura (EOS) dan Profesor di Asian School of the Environment di NTU Benjamin Horton, yang juga salah satu penulis studi tersebut, mengatakan siklon tropis akan mulai muncul di wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak banyak mengalaminya seiring dengan meningkatnya suhu perairan.

“Asia Tenggara memiliki frekuensi siklon tropis yang tinggi, tetapi yang kami perhatikan adalah Laut Tiongkok Selatan akan semakin panas. Jadi, siklon tropis akan lebih sering muncul di wilayah utara sepanjang pantai Tiongkok dan Korea Selatan,” ujar Benjamin.

Dalam skenario emisi gas rumah kaca sedang dan tinggi, model peneliti memperlihatkan topan akan semakin terbentuk di Laut Tiongkok Selatan dan menerjang daratan di utara.

Pada saat yang sama, lebih sedikit siklon yang diperkirakan berasal dari perairan timur Filipina, seperti yang terjadi pada Topan Gaemi.

Menurut Peneliti Senior EOS Dr. Dhrubajyoti Samanta, yang juga salah satu penulis pendamping studi tersebut, sebagian besar topan saat ini berhembus di Pasifik Barat, termasuk perairan di sebelah timur Filipina.

Mengenai apakah hal tersebut dapat berarti lebih sedikit topan bagi Filipina di masa mendatang, Dr. Dhrubajyoti mengatakan jumlahnya bisa jadi berkurang dibandingkan dengan yang mereka hadapi saat ini, tetapi itu tidak berarti Filipina akan terbebas dari topan.

Jumlah topan yang lebih sedikit, tetapi lebih besar, dapat menimbulkan kerusakan.

“Siklon yang berasal dari dekat atau di Laut Tiongkok Selatan juga dapat menghantam Filipina," ujar Dr. Dhrubajyoti.

Filipina sering dianggap sebagai pusat siklon, dengan sekitar 20 badai dan topan menghantam kepulauan tersebut setiap tahun.

Topan yang paling merusak adalah Topan Super Haiyan pada 2013 dan Topan Rai pada 2021.

Para peneliti memperkirakan badai lain di masa mendatang dapat mengikuti jalur seperti Topan Gaemi.

Badai Kategori 4 tersebut melanda Taiwan, menghantam Tiongkok selatan, dan juga mencapai Korea Utara.

Meskipun topan tersebut tidak mendarat di Filipina, namun topan tersebut mengintensifkan angin muson barat daya, yang membawa hujan lebat dan banjir ke Manila dan provinsi-provinsi utara sekitar tanggal 24 Juli.

Studi topan Asia Tenggara juga melibatkan peneliti dari Universitas Rowan di New Jersey dan Universitas Pennsylvania.

Para ilmuwan bekerja dengan lebih dari 64.000 simulasi siklon tropis dari abad ke-19 hingga akhir abad ke-21, baik dalam skenario emisi karbon sedang maupun tinggi. Hal tersebut dilakukan dengan bantuan Pakar Sains Atmosfer dari Institut Teknologi Massachusetts Profesor Kerry Emanuel.

Simulasi menunjukkan perubahan pada tempat terbentuknya, menguatnya, melambatnya, dan meredanya siklon. Penelitian ini juga menggunakan sembilan model iklim yang berbeda untuk memastikan keakuratan hasilnya.

Prediksi para ilmuwan mengenai topan yang akan terjadi di Asia Tenggara dipublikasikan dalam jurnal Climate and Atmospheric Science pada awal Juli.

Di tengah pemanasan global, kemampuan siklon masa depan untuk berevolusi dan menguat lebih cepat dari badai tropis menjadi topan kategori empat atau lima adalah temuan lain yang mengkhawatirkan para peneliti.

Berdasarkan makalah hasil penelitian, siklon tropis lebih mungkin terbentuk dan menguat paling cepat di dekat garis pantai Asia Tenggara, dan tingkat penguatannya kemungkinan akan melampaui norma historis.

Terdapat tantangan dalam meramal penguatan yang cepat, terutama sebelum pendaratan. Dalam beberapa kasus, badai dapat meningkat menjadi topan yang parah dalam satu hari. 

Menurut Dr. Dhrubajyoti, kota-kota pesisir yang berisiko perlu meningkatkan sistem prakiraan cuaca ekstrem mereka.

Benjamin Horton mengatakan peningkatan intensitas badai yang cepat tersebut membuat orang tidak punya banyak waktu untuk mengungsi.

"Jika Anda tahu badai akan masuk kategori satu, Anda dapat memperkirakan berapa besar gelombang badai, atau jumlah curah hujan, atau jumlah banjir, dan mempersiapkan diri dengan tepat. Namun, jika badai meningkat dengan cepat menjadi tiga, empat, atau lima, apakah para perencana kota memiliki kemampuan untuk melakukan evakuasi dengan cukup cepat?”

Topan dapat menarik lebih banyak energi dari perairan yang lebih hangat, memberi lebih banyak bahan bakar untuk bertahan lebih lama di daratan dan meningkatkan kerusakan di jalurnya.

“Di daratan Asia Tenggara, topan diperkirakan bergerak lebih lambat dan butuh waktu lebih lama sebelum mereda. Hal itu dapat lebih merusak infrastruktur,” kata Dr. Dhrubajyoti.

Ke depannya, para peneliti ingin menggabungkan temuan mereka dengan proyeksi kenaikan permukaan laut di Asia Tenggara, untuk memberi para perencana pesisir pemahaman yang lebih baik tentang cara melindungi kota mereka dari kerusakan yang dahsyat.

Mengomentari studi tersebut, Profesor Kerry Emanuel mengatakan siklon tropis dan banjir yang menyertainya merupakan bahaya yang paling mematikan dan merugikan yang memengaruhi wilayah yang berbatasan dengan Laut Tiongkok Selatan dan Teluk Benggala.

"Setiap perubahan dalam frekuensi atau intensitas bahaya ini berpotensi menimbulkan konsekuensi penting bagi wilayah ini, dan para perencana pesisir sebaiknya membuat rencana yang sesuai,” ujar Kelly, dikutip dari The Straits Times, Jumat (2/8).

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.