Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan kepada negara-negara untuk mengatasi urgensi epidemi panas ekstrem, yang dipicu oleh perubahan iklim, beberapa hari setelah dunia mencatat hari terpanas yang pernah tercatat.
"Panas ekstrem adalah hal yang tidak biasa. Dunia harus bangkit menghadapi tantangan kenaikan suhu," kata Antonio, dikutip dari Reuters, Kamis (25/7).
Perubahan iklim membuat gelombang panas lebih sering terjadi, lebih intensif dan berlangsung lebih lama di seluruh dunia.
Tahun ini, kondisi cuaca yang sangat panas telah menewaskan 1.300 jamaah haji, menutup sekolah bagi sekitar 80 juta anak di Afrika dan Asia, dan menyebabkan lonjakan rawat inap dan kematian di Sahel.
Menurut Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa, setiap bulan sejak Juni 2023 kini menempati peringkat sebagai bulan terhangat di planet ini sejak pencatatan dimulai pada 1940, dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
PBB meminta pemerintah negara-negara untuk tidak hanya menekan emisi bahan bakar fosil, yang merupakan penyebab perubahan iklim, tetapi juga meningkatkan perlindungan bagi mereka yang paling rentan, termasuk lansia, ibu hamil, dan anak-anak, serta meningkatkan perlindungan bagi pekerja.
Berdasarkan laporan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) yang diterbitkan Kamis, lebih dari 70% tenaga kerja global atau sekitar 2,4 miliar orang, kini berisiko tinggi terkena panas ekstrem.
Hampir 93% tenaga kerja terpapar panas ekstrem di Afrika dan 84 tenaga kerja di negara-negara Arab.
Panas ekstrem dianggap telah menyebabkan hampir 23 juta cedera di tempat kerja di seluruh dunia, dan sekitar 19.000 kematian setiap tahunnya.
"Kita memerlukan langkah-langkah untuk melindungi pekerja, yang didasarkan pada hak asasi manusia," kata Antonio.
Ia juga meminta pemerintah negara-negara untuk membuat perekonomian dan sektor-sektor penting seperti perawatan kesehatan dan lingkungan binaan menjadi tahan panas.
Kota-kota memanas dua kali lipat dari rata-rata global akibat urbanisasi yang cepat dan efek pulau panas perkotaan.
Pada 2050, beberapa peneliti memperkirakan peningkatan global sebesar 700% dalam jumlah penduduk miskin perkotaan yang hidup dalam kondisi panas ekstrem.
Ini pertama kalinya PBB mengeluarkan seruan global untuk bertindak atas panas ekstrem.
"Kita memerlukan sinyal kebijakan dan inilah sinyal itu," kata CEO of Climate Resilience for All Kathy Baughman.
Climate Resilience for All merupakan lembaga nirlaba yang berfokus pada panas ekstrem.
"Ini adalah pengakuan tentang seberapa besar dan seberapa mendesaknya hal itu. Ini juga pengakuan bahwa setiap orang tidak merasakan (panas) dengan cara yang sama dan membayar harga yang sama untuk itu," ujar Kathy.