Tembok Hijau Afrika kekurangan dana dan tidak mungkin memenuhi target penyelesaian tahun 2030.
Presiden KTT PBB tentang Penggurunan, Alain Richard Donwahi, mengatakan Tembok Hijau Afrika atau Africa's Great Green Wall dimaksudkan untuk memulihkan lanskap yang terdegradasi dan meningkatkan ekonomi di seluruh benua Afrika.
Diluncurkan pada 2007, proyek untuk memulihkan 100 juta hektar lahan tersebut baru selesai 30%.
Proyek tersebut bertujuan untuk memulihkan koridor sepanjang 8.000 kilometer dari Atlantik ke Laut Merah dan memberi manfaat bagi beberapa negara termiskin di dunia di tepi Gurun Sahara, termasuk Ethiopia, Mali, dan Sudan.
"Sangat meremehkan untuk menekankan bahwa kita tidak sejalan dengan tujuan bersama untuk menyelesaikannya pada 2030," ujar Alain, menjelang Hari Dunia untuk Memerangi Penggurunan dan Kekeringan di Bonn pada 17 Juni, di mana ia akan mencari dukungan baru untuk proyek penting tersebut.
"Proyek ini menghadapi tantangan yang cukup besar, terutama dalam hal pembiayaan dan implementasi," ujar Alain.
Alain Richard Donwahi memiliki akses ke analisis tentang perkembangan proyek tersebut. Ia menjabat sebagai Presiden KTT PBB 2022 yang diadakan di Pantai Gading hingga KTT berikutnya di Riyadh, Arab Saudi, pada bulan Desember mendatang.
Menurut Alain, tanpa adanya strategi pemantauan yang terpusat, mengkoordinasikan pekerjaan di 11 negara Afrika yang terlibat menjadi sangat menantang.
Sementara itu, beberapa negara tersebut dilanda krisis kemanusiaan dalam beberapa tahun terakhir, dipicu oleh kudeta militer, perang, atau pemberontakan Islamis.
Berdasarkan tinjauan kemajuan pada 2020 oleh Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), proyek Tembok Hijau Afrika diperkirakan membutuhkan setidaknya US$33 miliar (Rp 540.790 triliun) lebih banyak dana untuk mencapai target 2030.
Donor internasional menjanjikan sekitar US$19 miliar (Rp 311.245 triliun) pada pertemuan tahun 2021. Namun, hanya US$2,5 miliar (Rp 40.953 triliun) yang telah diberikan pada bulan Maret tahun lalu, sisanya akan diberikan pada akhir tahun 2025.
Dana yang dijanjikan tersebut juga disebarkan ke berbagai proyek yang mungkin didedikasikan untuk pembangunan internasional, namun belum tentu untuk Tembok Hijau.
Menurut Alain, kesulitan dalam melacak pendanaan sejauh ini telah menjadi batu sandungan utama. Ia menyambut baik peluncuran observatorium di bulan Juni ini untuk memantau pembiayaan dan kemajuan.
Meskipun begitu, masih belum jelas dari mana proyek ini akan mendapatkan sisa dana yang dibutuhkan untuk kembali ke jalurnya.
Menurut Alain, lebih banyak investasi akan dibutuhkan dari donor internasional, sektor swasta dan negara-negara Tembok Hijau itu sendiri.
Terdapat beberapa kemajuan, termasuk 3 juta lapangan pekerjaan yang tercipta dalam restorasi sekitar 30 juta hektar lahan yang terdegradasi, yang kurang lebih setara dengan luas negara Filipina.
Namun, dengan meningkatnya perubahan iklim, isu tersebut semakin menjadi masalah yang harus dihadapi oleh dunia yang lebih luas.
"Sudah terlalu lama, penggurunan dan kekeringan dianggap sebagai masalah Afrika saja," ujar Alain, dikutip dari Reuters pada Rabu (12/6).
Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.