Katadata Green
Banner

Indonesia Memimpin Ekonomi Inklusif 2030

Orange Forum 2025
Avatar
Oleh Dini Hariyanti 15 Desember 2025, 14.08

Indonesia membuktikan diri sebagai pelopor inovasi pembiayaan berkelanjutan di kawasan Asia Tenggara. Dari menjadi negara pertama yang menerbitkan green sukuk pada 2018 hingga meluncurkan Orange Bond pertama di Indonesia pada pertengahan 2025.

Sejauh ini, perjalanan Indonesia dalam mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dengan instrumen keuangan menunjukkan komitmen serius pemerintah dan sektor swasta terhadap pembangunan inklusif.

Dalam panel Indonesia Spotlight: Championing Inclusive Growth yang digelar di Indonesia Stock Exchange sebagai bagian dari Orange Forum 2025, para pemimpin dari pemerintah, regulator, lembaga keuangan, dan organisasi dampak berkumpul untuk membahas pencapaian Indonesia sekaligus mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk mempercepat pertumbuhan inklusif.

Strategi Utang Pemerintah: Lengkap dan Inovatif

Chandra A.S. Wibowo selaku Deputy Director Government Debt Securities Market Development and Deepening di Kementerian Keuangan, memaparkan bagaimana strategi penerbitan instrumen pembiayaan tematik Indonesia telah menjadi model bagi negara-negara emerging market lainnya.

"Ketika kita berbicara tentang mengapa pemerintah menerbitkan obligasi, idenya sangat lugas. Kami memerlukan dana untuk memastikan pembangunan kami terus bergerak maju," katanya dikutip dari keterangan resmi, Senin (15/12).

Indonesia memiliki portofolio instrumen pembiayaan berkelanjutan yang relatif lengkap. Dimulai dengan penerbitan global green sukuk dalam dolar AS pada 2018, diikuti dengan SDGs bonds dalam euro pada 2021, blue bonds dalam yen Jepang pada 2023, serta retail green sukuk dan SDGs bonds dalam rupiah.

"Instrumen-instrumen ini membuktikan komitmen pemerintah Indonesia untuk mendukung keberlanjutan. Pendekatan ini bukan hanya bertanggung jawab secara fiskal, tetapi juga berorientasi pada tujuan pembangunan," ujar Chandra.

Yang membedakan Indonesia adalah kejelasan penggunaan dana. Green sukuk dialokasikan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, SDGs bonds untuk mencapai 17 target SDGs, dan blue bonds untuk pengembangan ekonomi maritim, pesisir, dan ekonomi biru.

Chandra mengidentifikasi tiga faktor kunci kesuksesan Indonesia: kejelasan kebijakan, kredibilitas pasar, dan inovasi berkelanjutan. "Kombinasi ketiga hal ini memberikan kami fondasi yang kuat untuk mengembangkan instrumen pembiayaan berkelanjutan," tuturnya.

Peran Krusial Regulator: Dari Framework hingga Insentif

Wista Amalia Narulita selaku Senior Deputy Director of Capital Market Regulation and Development Department di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan, bagaimana regulator memastikan inovasi tidak mengorbankan integritas dan transparansi. Pada 2022, OJK menerbitkan regulasi nomor 18 yang mengatur persyaratan dan mekanisme penerbitan green, sustainable, dan social bond atau sukuk.

"Melalui regulasi itu, kami memastikan bahwa segala sesuatu yang diluncurkan di Indonesia melalui OJK atau IDX transparan dan memenuhi standar integritas," kata Wista.

OJK juga telah mengembangkan Indonesia Sustainable Finance Framework dan Taxonomy untuk memastikan tidak ada praktik greenwashing dan bahwa standar Indonesia sejalan dengan praktik terbaik internasional.

Untuk mendorong adopsi instrumen GSS (Green, Social, Sustainability), OJK bersama IDX menawarkan insentif berupa diskon 75 persen untuk biaya registrasi di OJK dan 50 persen untuk biaya listing di IDX.

"Kami mendengar dari pelaku pasar tentang tiga prioritas," ucap Wista. Pertama, perluasan insentif tidak hanya untuk produk green tetapi juga untuk produk orange dan lainnya. Kedua, pengurangan biaya terkait external review dan capacity building. Ketiga, kepastian regulasi yang dapat dibandingkan dengan standar internasional.

Untuk menjawab tantangan ini, OJK sedang mengembangkan produk digital yang akan dimasukkan dalam roadmap sustainable finance Indonesia yang dijadwalkan diluncurkan dalam waktu dekat.

Orange Bond PNM: Mempertemukan Wall Street dengan Back Street

Salah satu pencapaian paling signifikan dalam pembiayaan inklusif Indonesia adalah peluncuran Orange Bond oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) pada pertengahan 2025. Dengan total Penawaran Umum Berkelanjutan Obligasi senilai Rp6 triliun dan Sukuk senilai Rp10 triliun, PNM menjadi lembaga pertama di Indonesia yang menerbitkan Orange Bond dan yang pertama di dunia untuk Orange Sukuk.

Veronica Colondam selaku Independent Commissioner PTPN dan Founder CEO YCAB Foundation, yang terlibat langsung dalam penerbitan Orange Bond PNM, menjelaskan dampak riil instrumen ini.

"Orange Bond PNM bernilai hampir 1 miliar dolar AS, hanya sedikit berubah karena kurs, dan 100 persen diterbitkan oleh PNM dengan empat underwriter, termasuk Trimegah," tutur Veronica.

Yang unik dari Orange Bond PNM adalah 100 persen proceeds digunakan untuk mendukung inklusi keuangan bagi 13-15 juta perempuan melalui program PNM Mekaar.

"Kami memiliki outstanding Rp50 triliun yang melayani 15 juta perempuan, dan yang unik adalah di PNM, perempuan melayani perempuan. Mayoritas account officer kami adalah perempuan muda usia 19-25 tahun yang membantu semua perempuan ini dalam hal inklusi keuangan," kata dia.

Veronica juga memaparkan data dampak yang terukur dari program ini. Self-efficacy perempuan dalam membuat keputusan keuangan meningkat dua kali lipat. Net income klien meningkat 65 persen. Dan yang paling penting, 82 persen klien kini memiliki tabungan di atas Rp5 juta, naik 30 persen dari 2018 hingga 2024.

"Kami melihat klien kami naik dari under 6.85 PPP sebesar 34 persen menjadi 70 persen. Jadi kami menggerakkan orang ke atas dalam hal kesejahteraan mereka. Uang ada di sini, dana tersedia, dan oversubscribe 10,88 hingga 11 kali. Kami melihat harapan dalam gerakan orange ini yang ditutup oleh kesejahteraan nyata yang tercipta di lapangan," tambahnya.

Mengapa Indonesia?

Antya Widita dari Impact Investment Exchange (IIX) menegaskan bahwa tidak ada waktu yang lebih baik untuk berada di Indonesia.

"Anda mendengar tentang komitmen dari pemerintah, inovasi yang telah dikembangkan, dan kami juga hanya 5 tahun lagi dari 2030. Jadi kami sebenarnya menavigasi situasi lingkungan yang sangat kompleks, dan itu sebenarnya mendorong semua orang," kata Antya.

Indonesia memiliki 64 juta usaha mikro, kecil, dan menengah yang mewakili 99 eprsen dari seluruh aktivitas bisnis. Dari jumlah tersebut, sekitar 64 persen dimiliki atau dipimpin oleh perempuan. "Bagi kami, pertumbuhan inklusif berarti mereka harus terlibat. Mereka harus memiliki partisipasi penuh," tuturnya.

Menghadapi kesenjangan pembiayaan SDG sebesar 1,7 triliun dolar AS dan disparitas antara daerah pedesaan dengan perkotaan, IIX melihat kolaborasi multi-stakeholder sebagai kunci. "Indah melihat di Indonesia ada representasi dari pemerintah, sektor swasta, koalisi, dan kami dari perusahaan swasta. Jadi selalu menyenangkan memiliki kolaborasi multi-stakeholder semacam ini," ucap Antya.

Visi IIX untuk masa depan pertumbuhan inklusif adalah cara yang transparan dan akuntabel untuk mendistribusikan pembiayaan ke UMKM di seluruh Indonesia. "Masa depan harus terlihat seperti seorang Ibu di pedesaan Kalimantan bisa mendapatkan akses yang sama seperti perusahaan besar di Jakarta," tutur dia.

Kesenjangan yang Masih Perlu Diatasi

Indra Darmawan selaku Chairperson Indonesia Impact Alliance, mengapresiasi momentum Indonesia dalam sustainable finance tetapi menekankan pentingnya memastikan mekanisme pembiayaan benar-benar mengalir ke UMKM dan komunitas yang kurang terlayani.

"Penerbitan mekanisme inovatif semacam itu tidak hanya penting tetapi harus diikuti dengan bagaimana menciptakan mekanisme yang memastikan pembiayaan tersebut benar-benar mengalir ke UMKM, ke komunitas yang kurang terlayani, ke perempuan yang membutuhkan," katanya.

Indonesia Impact Alliance berfokus pada menjembatani kesenjangan data dan kapasitas untuk membantu mekanisme pembiayaan mengalir ke beneficiary yang benar-benar berdampak dan genuine.

Indra mengidentifikasi dua kesenjangan utama yang perlu diatasi. Pertama adalah shift dalam measurement. Kesenjangan biasanya ada dalam pengukuran dan data serta kapasitas karena kadang memiliki keuangan tetapi tak punya pipeline.

"Kadang kita punya pipeline tapi tidak punya financing. Jadi ada beberapa kesenjangan yang perlu kita perkuat dengan memberdayakan intermediaries dan juga para pemain untuk mengisi kesenjangan tersebut," ucap Indra.

Yang pasti, seiring Indonesia diproyeksikan menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030, momentum untuk mempercepat pembiayaan berkelanjutan dan inklusif sangat krusial.

 

Editor : Dini Hariyanti
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.