Jakarta — Di era ekonomi digital, data bukan lagi sekadar deretan angka di layar komputer. Data adalah "mata uang" baru yang menentukan nasib: siapa yang layak didanai, siapa yang mendapat visibilitas, dan siapa yang dibiarkan tertinggal.
Realitas ini menjadi sorotan utama dalam panel diskusi "Turning Risk into Resilience" di ajang Orange Forum 2025, di Bursa Efek Jakarta (BEI), 17 November 2025.
Dipandu oleh Richa Kothari dari Impact Investment Exchange (IIX), diskusi ini membongkar mitos bahwa teknologi semata adalah solusi. Para panelis--mulai dari pejabat pemerintah, investor, hingga pelaku agritech--sepakat: tanpa data yang kredibel dan transparan, inklusi keuangan hanyalah jargon kosong.
Dalam dunia yang terobsesi dengan kecepatan Artificial Intelligence (AI), Fakhridho Susilo, Ph.D., Direktur Eksekutif Katadata Insight Center, memberikan peringatan keras.
"AI memang bisa memberikan hasil instan untuk laporan ESG. Tapi ingat, kecepatan bukan pengganti integritas," tegasnya.
Fakhridho menekankan bahwa teknologi hanyalah alat bantu. Validitas data tetap membutuhkan sentuhan manusia. Inilah filosofi di balik Katadata ESG Index, sebuah penilaian independen terhadap kinerja keberlanjutan perusahaan publik dan BUMN di Indonesia.
Alih-alih hanya mengandalkan algoritma, indeks ini melibatkan panel ahli untuk merancang metodologi, serta mengundang pelaku bisnis untuk memvalidasi temuan.
"Kami percaya AI itu melengkapi, bukan menggantikan. Kepercayaan lahir dari verifikasi dan keterlibatan manusia—bukan mesin," ujar Fakhridho.
Jika sektor swasta bicara soal validitas, pemerintah bicara soal akses dan integrasi. Dr. Vivi Yuliaswati, Deputi Bidang Ekonomi di Bappenas, mengakui tantangan besar pengelolaan data negara: tumpang tindih dan ego sektoral.
"Dulu, Badan Pusat Statistik dan Kemendagri punya kode referensi yang berbeda. Itu masalah," ungkap Vivi.
Kini, lewat kebijakan Satu Data, pemerintah berupaya menyatukan bahasa. Ribuan set data yang sebelumnya "terkunci" di berbagai kementerian kini diharmonisasi agar bisa diakses publik.
Bagi Vivi, data adalah barang publik. Namun, tantangannya bukan sekadar membuka data, melainkan memastikan data tersebut cukup rinci (granular) untuk memotret mereka yang selama ini tak terlihat: perempuan di wilayah kepulauan, penyandang disabilitas, dan masyarakat marjinal.
Di lapangan, ketiadaan data punya konsekuensi nyata. Bambang Cahyo Susilo, Co-Founder Eratani, melihat langsung bagaimana petani kecil terjebak dalam siklus kemiskinan bukan karena mereka tidak produktif, tapi karena mereka "tak terlihat" oleh bank.
"Masa depan pangan itu bukan pada teknologi canggih, tapi di tangan petani. Tanpa mereka, tidak ada beras di meja makan kita," tegas Bambang.
Eratani hadir untuk mengisi kekosongan informasi tersebut. Mereka membangun rekam jejak digital bagi petani--mulai dari luas lahan hingga riwayat panen--sehingga lembaga keuangan punya dasar untuk memberikan kredit.
Hasilnya konkret. Dengan sertifikasi Orange SEAL dari IIX, Eratani membuktikan bahwa data yang terverifikasi bisa membuka keran modal bagi sektor yang selama ini dianggap terlalu berisiko.
Dari sisi pemilik modal, Sumarny Elisabeth Manurung dari SPIL Ventures menegaskan bahwa data adalah nyawa investasi.
"Sembilan puluh persen keputusan investasi kami didasarkan pada data," ujarnya.
Namun, Elisabeth menyoroti ironi di Indonesia: semangat keberlanjutan (sustainability) tinggi, tapi datanya sering kali tidak ada. "Aksesibilitas adalah kuncinya. Data mungkin ada, tapi kalau investor tidak bisa mengaksesnya, percuma," tambahnya.
Ia mengapresiasi langkah Bappenas dan inisiatif seperti Eratani yang membuat data menjadi terstruktur dan mudah dipahami. Bagi investor, data yang transparan adalah bentuk tata kelola yang baik (good governance), dan di sana lah uang akan mengalir.
Diskusi di Orange Forum ini menyimpulkan satu hal: Global South tidak perlu meniru cara lama negara maju. Dengan kolaborasi antara pemerintah yang membuka data, media yang memverifikasi, dan startup yang mendigitalisasi lapangan, Indonesia sedang membangun infrastruktur baru.
Seperti yang disimpulkan dalam forum: "Anda tidak bisa memperbesar dampak jika Anda tidak bisa mengukurnya." Dan kini, dengan data di tangan, Indonesia siap memimpin ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tapi juga adil dan inklusif.