Katadata Green berkolaborasi dengan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di wilayah Kalimantan Barat. Adapun tema yang diusung adalah “Percepatan Pengembangan Ekowisata dan Pengelolaan Komoditas Lestari Berbasis Perhutanan Sosial di Kalimantan Barat untuk Mendorong Kebijakan Integrated Area Development (IAD)”.
FGD ini mempertemukan beragam pemangku kepentingan kegiatan ekowisata dan komoditas lestari program Perhutanan Sosial dari empat kabupaten di Kalimantan Barat. Empat kabupaten tersebut adalah Kubu Raya, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu. FGD ini merupakan bagian dari rangkaian FGD yang dilaksanakan di tingkat nasional dan dua daerah lainnya, yakni Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatera Barat dan Kabupaten Buleleng, Bali.
“Penting untuk menerjemahkan kebijakan nasional ke tingkat tapak. Salah satu strateginya melalui skema Integrated Area Development (IAD),” kata Plt. Kepala Bappedalitbang Kubu Raya Herbimo Utoyo, atau yang akrab disapa Bimo, saat memberikan paparan dalam kegiatan FGD yang diselenggarakan di Pontianak, Rabu (30/4/25).
Menurutnya, skema IAD menjadi peluang bagi Kabupaten Kubu Raya mendorong pengembangan ekowisata kawasan Perhutanan Sosial secara terpadu. Namun, saat ini Kabupaten Kubu Raya belum memiliki skema IAD, berbeda dengan tiga kabupaten lainnya yang sudah memiliki skema IAD.
Bimo menyebutkan bahwa sebesar 70 persen desa di Kubu Raya berada di kawasan hutan. Kubu Raya memiliki 30 desa yang mengantongi izin Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dan 1 Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang tersebar di 6 kecamatan dengan total luasan mencapai 131.675 ha.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah Kubu Raya Ya' Suharnoto dalam paparannya mengatakan bahwa Kubu Raya menjadi kabupaten kedua dengan izin Perhutanan Sosial terbanyak di Kalimantan Barat. Sehingga, Ya’ meyakini bahwa IAD bisa menjadi momentum kolaborasi agar semua pihak turut mengembangkan ekowisata di kawasan Perhutanan Sosial di Kubu Raya.
“Dalam pengembangan IAD, konsep yang kita lakukan harus melibatkan pentahelix, yaitu antara pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan media, kita tidak bisa sendiri-sendiri mengupayakan ini,” katanya pada Rabu (30/4/25).
Menurut Ya’, dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial memungkinkan keterlibatan pemerintah kabupaten semakin besar. Sebelumnya, peran pemerintah kabupaten cukup minim karena isu kehutanan berada pada kewenangan pemerintah provinsi.
Ya’ menceritakan beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mendorong ekowisata dan komoditas lestari di Kubu Raya. Beberapa di antaranya merawat mangrove dan gambut yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati di Kubu Raya.
“Kami juga melakukan strategi temporary closure di kawasan sungai dengan tabungan kepiting alam, tujuannya untuk membatasi orang masuk ke sungai sambil memanen kepiting, lalu ketika panen akan dibuka lagi,” ucap Ya’.
Bimo menyebutkan bahwa pemerintah kabupaten terus mengupayakan agar Kubu Raya konsisten untuk dapat hidup dari nilai tambah ekonomi dalam merawat hutan, seperti pengembangan ekowisata dan mengembangkan hasil hutan bukan kayu. Bimo menyebutkan bahwa strategi pentahelix juga sudah dilakukan.
“Upaya yang kita lakukan adalah mengawinkan potensi sumber daya alam dan manusia yang kita punya dengan sisi hilirnya. Ini semua bisa dilakukan dengan kolaborasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), organisasi desa, hingga mitra pembangunan,” kata Bimo.
Berbagi Pengalaman dengan Kabupaten Lainnya
Tidak hanya perwakilan Kabupaten Kubu Raya, dalam FGD tersebut turut hadir para pengelola ekowisata dari Kabupaten Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Salah satunya Ketua Kelompok Perhutanan Sosial Hutan Adat Tae Kabupaten Sanggau Marselus Yopos mengatakan bahwa strategi merawat hutan dengan menjaga nilai-nilai adat.
“Kami menggunakan konsep Tembawang, agar tetap menjaga tutupan hutan dan kami tanami buah-buahan,” kata Yopos pada Rabu (30/4/25).
Tembawang adalah hutan bekas ladang yang dikelola dan dimanfaatkan secara turun-temurun oleh suku Dayak sebagai sumber pangan, obat, dan kebutuhan hidup lainnya secara berkelanjutan. Salah satu komoditas unggulan Adat Tae adalah durian dan aren. Nantinya, komoditas-komoditas tersebut diolah untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi seperti menjadi lempok durian hingga gula aren.
Yopos juga bercerita bahwa masyarakat adat Tae membagi hutan menjadi dua bagian yaitu zona lindung, sebagai hutan yang tidak boleh dimanfaatkan agar tutupannya terus terjaga, dan zona pemanfaatan, hutan yang hasilnya bisa dikelola masyarakat.
Selain Sanggau, Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu juga bercerita strategi mereka merawat hutan. Kabupaten Sintang misalnya, mengimplementasikan skema rimba dan gupung. Skema pengelolaan rimba dan gupung di Kabupaten Sintang diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 122 Tahun 2021.
Beragam strategi merawat hutan turut dilakukan di LPHD Bumi Lestari, Kabupaten Desa Penepian Raya, Kapuas Hulu. Masyarakat Desa juga melakukan patroli selama tiga kali sebulan untuk mengantisipasi adanya kerusakan hutan.
FGD yang dihadiri seperti pemerintah daerah, masyarakat sipil, swasta, hingga akademisi ini mendiskusikan berbagai tantangan yang dihadapi dalam penerapan program Perhutanan Sosial. Di antara tantangannya adalah keterbatasan akses dan sumber daya serta kebutuhan akan dukungan pemerintah melalui penguatan kebijakan.
Oleh karenanya, salah satu strategi yang ditawarkan adalah mendorong rencana aksi untuk terbentuknya IAD khususnya di Kabupaten Kubu Raya. melalui IAD, berbagai pemangku kepentingan menyamakan visi untuk mempermudah kolaborasi yang terjalin, hingga sinkronisasi kebijakan antara pemerintah kabupaten dan provinsi.