Ketergantungan masyarakat terhadap perangkat teknologi, seperti ponsel pintar, telah menimbulkan risiko munculnya sampah elektronik. Apalagi, tren konsumsi perangkat teknologi saat ini secara tidak langsung mendorong kenaikan jumlah e-waste.
Sebab, di era modern ini, masyarakat seolah sudah terbiasa untuk mengganti gawainya bahkan setiap tahun. Alhasil, tak jarang, gawai lama yang sudah tidak terpakai cuma disimpan, atau bisa jadi langsung dibuang tanpa melalui proses daur ulang.
Padahal, perangkat elektronik yang sudah lama tidak terpakai berisiko mengandung racun berbahaya, termasuk timbal, unsur logam yang beracun dan dapat merusak tubuh manusia.
Secara umum, masyarakat masih memiliki tingkat pemahaman yang minim perihal pengelolaan sampah elektronik. Menukil studi bertajuk “Identifikasi Perilaku Konsumen terhadap Potensi Limbah Elektronik Gawai di Kota Bandung”, konsumen masih suka menyimpan gawai tak terpakai karena dianggap masih memiliki nilai ekonomis.
Dalam studi oleh Allan Darma dan Benno Rahadyan di Jurnal Teknik Lingkungan pada 2019 itu, berbeda dengan gawai, masyarakat lebih cenderung membuang headset dan charger yang sudah tidak terpakai.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan tiga perilaku masyarakat soal sampah elektronik. Pertama, membuang langsung ke tempat sampah. Kedua, dijual sebagai barang bekas. Ketiga, membuang ke layanan pengelolaan e-waste.
Dari berbagai temuan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat bisa jadi belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai daur ulang sampah elektronik.
Kendati begitu, berdasarkan data dari KLHK pada 2021, dari jumlah sampah elektronik mencapai 2 juta ton, cuma 17,4 persen di antaranya yang berhasil dikelola dengan baik.
Rendahnya tingkat pendaurulangan e-waste ini bisa jadi karena masih banyak terdapat mitos dan fakta mengenai jenis sampah tersebut. Melansir berbagai sumber, salah satu, misalnya, adalah hanya barang elektronik berukuran besar, seperti televisi dan komputer, yang dapat didaur ulang.
Padahal perangkat elektronik berukuran kecil, antara lain ponsel pintar, tablet, dapat pula didaur ulang.
Mitos tersebut muncul karena pandangan bahwa limbah elektronik yang lebih kecil mengandung racun yang sedikit sehingga tidak membahayakan lingkungan. Anggapan ini tidak benar karena perangkat elektronik kecil pun tetap dapat merusak lingkungan, apalagi jika hanya berakhir di tempat pembuangan.
Mitos lainnya adalah sampah elektronik dapat dibuang bersamaan dengan sampah biasa.
Faktanya, bila e-waste dibuang ke tempat sampah biasa, zat-zat berbahaya di dalamnya, seperti timbal dan merkuri, dapat mencemari serta meresap ke dalam air tanah.
Ada pula mitos mengenai e-waste yakni biaya daur ulangnya yang mahal. Padahal, mendaur ulang logam dan material berharga dari perangkat elektronik akan lebih hemat secara energi, ketimbang mengeksploitasinya dari alam.
Inisiatif Daur Ulang E-waste
Saat ini, masyarakat tidak perlu repot untuk mendaur ulang sampah elektroniknya secara mandiri. Terlebih, mengelola e-waste tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Dengan terlibat pada gerakan daur ulang e-waste, masyarakat sudah bisa berkontribusi pada pengurangan sampah elektronik. Kisah Muhammad Iqbal misalnya. Perusahaan tempatnya bekerja, erafone, memiliki inisiatif Jaga Bumi, yakni program pengumpulan sampah elektronik melalui dropbox yang tersebar di gerai.
Iqbal mengaku tahu bahwa sampah elektronik bisa didaur ulang. Meski demikian, dia menyebut selama ini hanya menyimpan gadget yang tidak terpakai di rumah. Sebab, ia tidak mengetahui ke mana harus membuang sampah tersebut.
Dia pun mengapresiasi erafone yang menggelar inisitif Jaga Bumi. “Program seperti ini membuat saya merasa bisa ikut berkontribusi menjaga lingkungan,” kata Store Leader erafone Central Park itu.
Menurutnya, program pendaurulangan sampah elektronik ini perlu diperluas karena memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Terlebih, jika ada insentif, misalnya, voucer yang diharapkan mampu menarik lebih banyak warga yang ingin berpartisipasi.
Informasi saja, erafone telah menyediakan 10 dropbox di 10 gerai di Jabodetabek. Sepanjang tahun ini, perusahaan ritel seluler multi-brand tersebut berencana menambah jumlah dropbox menjadi 25 hingga 50 unit yang akan ditempatkan di lima wilayah operasional utama.