Banner

Perang Energi Masa Depan Dunia Terjadi Di Bawah Laut

freepik.com
Avatar
Oleh Arsyad Paripurna 27 Juni 2024, 13.29

Ketika warga New York menikmati kopi pagi mereka, jaringan listrik merekalah yang sebenarnya butuh sesuatu yang bisa bikin lebih bertenaga.

Puluhan pembangkit listrik bekerja dengan penuh energi, tekad dan kecepatan saat permintaan listrik melonjak di waktu sarapan dan terus meningkat hingga kota tersebut selesai makan malam.

Sebagian besar energi tersebut masih dihasilkan oleh gas alam yang memanaskan planet bumi ini. Meskipun negara bagian New York yang lebih luas sedang berusaha menghijaukan jaringan listriknya dengan cepat untuk memperlambat perubahan iklim, tidak selalu ada angin atau matahari yang dapat diandalkan secara real time.

Teknologi untuk menyimpan energi terbarukan dalam jangka waktu yang lama juga belum dikuasai.

Sekelompok pengusaha mencari solusi sejauh 3.000 mil jauhnya. Bukan ke barat, ke California yang cerah dengan potensi matahari, melainkan ke timur, ke Inggris yang kelabu dan hujan.

Kelompok ini ingin membangun mega interkonektor energi bawah laut antar benua, yang menghubungkan Eropa dan Amerika Utara dengan tiga pasang kabel bertegangan tinggi. 

Kabel-kabel tersebut akan membentang lebih dari 2.000 mil di seluruh dasar Samudra Atlantik untuk menghubungkan tempat-tempat seperti Inggris bagian barat dengan Kanada bagian timur, dan kemungkinan New York dengan Prancis bagian barat.

Interkonektor terbesar di dunia ini akan mengirimkan energi terbarukan ke arah timur dan barat, mengambil keuntungan dari perjalanan harian matahari melintasi langit.

"Saat matahari berada di puncaknya, kita mungkin memiliki lebih banyak tenaga listrik di Eropa daripada yang bisa kita gunakan. Kita memiliki angin dan kita juga memiliki terlalu banyak tenaga surya," kata Pendiri dan CEO Etchea Energy Simon Ludlam, yang juga salah satu dari tiga orang Eropa yang memimpin proyek tersebut.

Menurutnya, itu adalah saat yang tepat untuk mengirimkannya ke pusat permintaan, seperti Pantai Timur Amerika Serikat.

"Lima, enam jam kemudian, itu adalah puncaknya di Pantai Timur, dan tentu saja, kami di Eropa telah kembali untuk makan malam, dan kami mendapatkan arus balik," tambahnya, dikutip dari CNN, Rabu (26/6).

Interkonektor trans-Atlantik masih berupa proposal. Namun, jaringan kabel energi hijau mulai tersebar di seluruh dasar laut dunia. Jaringan ini dengan cepat menjadi bagian dari solusi iklim global, menyalurkan energi terbarukan dalam jumlah besar ke negara-negara yang kesulitan melakukan transisi hijau sendirian.

Meskipun begitu, kabel-kabel ini juga menjalin hubungan baru yang membentuk kembali peta geopolitik dan mengalihkan sebagian perang energi dunia ke kedalaman laut. Kebutuhan untuk melakukan dekarbonisasi belum pernah sebegitu mendesak.

Menurut Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim, selama dekade ini, dunia harus menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi separuh emisi karbonnya jika ingin membatasi perubahan iklim ke tingkat di mana manusia dan ekosistem dapat beradaptasi dan bertahan hidup dengan nyaman.

Kabel bawah laut dapat menjadi alat yang sangat penting untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan.

Hasil analisis Climate Action Tracker menunjukkan bahwa dunia masih tertinggal dalam mencapai target iklim, dengan sebagian besar negara belum sejalan dengan Perjanjian Paris untuk mengurangi polusi yang memanaskan bumi.

Saat ini, kabel energi telah terbentang di antara beberapa negara di Eropa, sebagian besar di antaranya adalah negara tetangga.

Tidak semua kabel tersebut membawa daya terbarukan secara eksklusif, yang terkadang ditentukan oleh apa yang membentuk jaringan energi masing-masing negara, tetapi kabel-kabel baru biasanya dibangun untuk masa depan energi hijau.

Inggris, yang memiliki lahan terbatas untuk pembangkit listrik, telah terhubung dengan Belgia, Norwegia, Belanda, dan Denmark di bawah laut.

Inggris telah menandatangani koneksi tenaga surya dan angin dengan Maroko untuk mengambil keuntungan dari sinar matahari di negara Afrika Utara dan angin perdagangan yang kuat yang melintasi khatulistiwa.

Interkonektor trans-Atlantik masih dalam tahap awal dan membutuhkan dukungan dari beberapa negara dan negara bagian, serta investasi yang cukup besar. Paling banter, interkoneksi ini dapat dibangun pada pertengahan tahun 2030-an.

Trio di balik mega proyek ini optimis mereka akan menemukan pendukung, tidak hanya untuk memperlambat perubahan iklim, tetapi juga untuk melawan Rusia dalam perang energi global dan Tiongkok untuk mendominasi teknologi energi bersih, yang keduanya telah menemukan batas-batas baru di bawah laut.

Ketiganya tidak menghindar dari implikasi geopolitik yang ada dari proyek mereka. Mereka malah memilih untuk menyebut interkonektor mereka dengan sebutan North Atlantic Transmission One-Link (NATO-L).

Harapannya adalah bahwa proyek ini akan memberikan hasil keamanan global yang positif: interkonektor akan memaksa negara-negara untuk berpikir dengan hati-hati soal siapa sekutu mereka dalam geopolitik yang berubah dengan cepat.

Reporter : reportergreen Editor : Arsyad Paripurna
;

Katadata Green merupakan platform yang mengintegrasikan berita, riset, data, forum diskusi, dan komunitas untuk menginformasikan, bertukar gagasan, hingga kolaborasi untuk pembangunan hijau dan berkelanjutan di Indonesia.